Seorang pekerja di industri digital menuturkan, sejak beberapa hari ini ia dihubungi oleh salah satu penghubung politisi terkenal. Mereka akhirnya bertemu dan penghubung ini menawari pekerjaan selama satu setengah tahun sebagai bagian dari pasukan digital untuk si politisi. Tawarannya cukup menggiurkan. Tawaran sejenis bakal marak pada tahun ini, setahun menjelang Pemilu 2019. Bagaimana menyikapi tawaran seperti ini?
Sejak beberapa tahun lalu, teknologi digital sudah menjadi bagian dari kampanye beberapa calon presiden atau calon pimpinan daerah. Di banyak negara, termasuk di Indonesia, penggunaan teknologi digital marak dalam pemilihan. Namun, penggunaan teknologi ini makin dikritik setelah terkuak kasus industri berita palsu atau berita yang disesatkan selama kampanye pemilu di Amerika Serikat. Karut-marut masalah ini makin rumit ketika diduga ada 13 warga negara Rusia yang ikut dalam industri tersebut.
Tidak hanya itu, belakangan diketahui pula jika pemilu di AS juga melibatkan pembuat laman-laman palsu yang dioperasikan di sebuah kota di Macedonia, yaitu Veles. Laporan dari CNN menyebutkan, jumlah laman yang mencapai lebih dari 100 itu menguntungkan salah satu calon dan dioperasikan oleh seorang berumur 24 tahun. Ia menerima tawaran itu karena mendapat uang 2.500 dollar AS per hari. Jumlah itu sangat besar dibandingkan pendapatan bulanan di kota itu, yakni 426 dollar AS per bulan.
Ia mempekerjakan 15 orang, 2 orang di antaranya berada di AS. Mereka yang berada di AS ini menjadi pembuat konten. Beberapa akun yang dibuat mampu menarik 1,5 juta pengikut yang sebagian besar berada di AS. Untuk menutup operasinya, ia berganti-ganti nama. Bahkan, nama untuk malam hari berbeda dengan nama pada siang hari. Bahkan, dia akan bekerja untuk siapa saja yang mau membayar, termasuk ia telah bersiap untuk pemilu AS pada 2020.
Yang lebih berbahaya lagi adalah taktik dan strategi pembuatan berita palsu itu diajarkan ke beberapa siswa. Seorang pengajar mengaku, 100 muridnya telah bekerja di industri itu. Di tengah penegakan hukum yang lemah, industri ini berkembang di Veles. Mereka bangga karena Veles kini dikenal dunia. Mereka menyebut sebagai wirausaha berita palsu. Wali Kota Veles Slavcho Chadiev terkesan melindungi. Ia bangga dengan mengatakan, inilah cara mendapatkan uang tercepat di tengah kesulitan ekonomi.
Kisah lainnya di Filipina. Investigasi yang baru selesai dilakukan menyebutkan, sebuah perusahaan humas dan periklanan diduga terlibat dalam industri berita palsu dan penyesatan informasi di negara itu. Perusahaan ini bermain dua kaki. Mereka melayani beberapa merek secara profesional, tetapi di kaki yang lain mereka menawarkan paket kampanye politik untuk beberapa klien politisi. Mereka mengaku mendapat uang dalam jumlah besar ketika terlibat dalam kampanye politik.
Kembali ke dalam negeri, tidakkah industri sejenis bisa bermunculan di Tanah Air? Pekerja digital yang diceritakan di awal, ditawari juga untuk tinggal di sebuah kawasan perumahan dengan berbagai fasilitas. Di satu sisi, pekerjaan seperti ini memberi pemasukan yang besar dan tentu membuka lapangan pekerjaan. Namun, pekerjaan ini tidak bisa terhindar dari perbuatan curang dan membangun industri berita palsu demi kepentingan si politisi.
Berita-berita palsu dan penyesatan sangat mudah dikonsumsi dan diakses publik, lalu diyakini sebagai kebenaran. Apalagi ketika produk itu masuk ke masyarakat yang mulai terbelah. Publik lebih terpapar oleh media sosial yang memiliki kecepatan lebih tinggi meski akurasi kerap diragukan. Paparan yang terus-menerus akan menyebabkan mereka kehilangan nalar. Riset oleh Pew Research menyebutkan, 64 persen orang dewasa AS mengaku berita-berita palsu itu membuat mereka bingung ketika ada sebuah peristiwa atau fakta tertentu.
Ada beberapa prakarsa untuk menyikapi persoalan ini. Pemilik platform mulai menyadari, teknologi yang dikembangkan digunakan untuk tindakan tidak etis sehingga mereka melakukan pengamanan. Kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat juga mulai membangun literasi digital. Pemerintah membangun perangkat hukum yang memungkinkan para pelaku ditindak. Namun, belum ada banyak cara selain menganjurkan mereka yang bekerja di industri digital untuk mengendalikan diri dan reformasi hukum dalam hal transparansi pengelolaan uang dalam kampanye. (ANDREAS MARYOTO)