Produksi Membaik
Akan tetapi, di sisi lain, upaya mendorong investasi tambak udang masih terhambat sejumlah persoalan.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi udang per Oktober 2017 sebanyak 555.138 ton. Produksi ini turun dibandingkan produksi 2016 yang sebanyak 698.138 ton. Penurunan produksi diduga karena serangan penyakit di beberapa sentra produksi.
Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto mengemukakan, penyakit udang masih belum bisa diatasi. Namun, diprediksi ada kenaikan produksi udang vaname sebanyak 50.000 ton tahun ini yang ditunjang pasokan benih udang (benur) bebas penyakit (SPF).
”Ada penambahan 500 juta ekor benur SPF tahun ini sehingga paling tidak menambah sekitar 50.000 ton produksi udang vaname tahun ini,” katanya, dalam Seminar ”Outlook Perikanan 2018” yang diadakan majalah Trobos Aqua dan Gabungan Perusahaan Makanan Ternak, di Jakarta, Rabu (28/2).
Iwan berpendapat, peluang bisnis udang di Indonesia masih sangat besar. Hal ini seiring dengan peningkatan permintaan udang dunia yang melebihi produksi. Permintaan udang dunia pada 2017 mencapai 6,9 juta ton, lebih tinggi dari 2011 yang sebanyak 6 juta ton.
Sementara pasokan udang dunia dari hasil budidaya dan tangkapan terus menurun dalam 6 tahun terakhir, yakni dari 5,95 juta ton pada 2011 menjadi 4,485 juta ton pada 2017.
Sementara itu, beberapa negara sentra produksi udang terus menggenjot produksi. Produksi di India, misalnya, melonjak dari 200.000 ton pada 2011 menjadi 600.000 ton pada 2017. Lonjakan produksi, antara lain, didorong ekstensifikasi tambak dengan benur unggulan.
Sebaliknya, Indonesia masih terjerat persoalan penyakit udang karena mutu benur yang rendah sehingga mudah terserang penyakit kotoran putih (WFD), bintik putih (WSSV), dan myo (IMNV). Sekitar 40 persen pasokan benur nasional tergolong non-SPF sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ketahanan penyakit.
Sebagian petambak yang lahannya terserang penyakit memilih untuk mencari lahan tambak baru. Namun, kualitas benur yang rendah tetap rentan penyakit. Lampung, misalnya, yang mengandalkan benur dari Jawa Timur, pernah terserang penyakit myo secara massal karena kualitas benur yang rendah.
”Ini masalah kita. Kita nyaris angkat tangan untuk penyakit bintik putih, sedangkan penyakit kotoran putih belum tertangani hingga 5 tahun. Kita sulit meningkatkan produksi jika masalah penyakit udang tidak ditangani serius,” ujarnya.
Adapun produksi udang oleh SCI pada 2017 mencapai 390.000 ton. Produksi SCI ini sekitar 60 persen terhadap produksi udang nasional.
Jadi pemicu
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, mengakui, penyakit menjadi salah satu pemicu penurunan produksi udang tahun lalu. Namun, pihaknya terus membenahi tambak dan melaksanakan intensifikasi dan ekstensifikasi tambak udang dengan mendorong investasi. Porsi investasi perikanan budidaya pada triwulan III-2017 baru 14,3 persen terhadap investasi sektor perikanan.
”Prospek masih terbuka untuk investasi. Kami akan genjot investasi di budidaya,” ujarnya.
Tahun ini, produksi udang nasional ditargetkan 700.000 ton.
Menurut Iwan, investasi baru tambak udang di Indonesia tidak optimal. Penyebabnya, birokrasi perizinan yang menghambat, terutama di daerah-daerah tambak baru, seperti pantai selatan Jawa, Madura, dan Banten. Misalnya, biaya perizinan usaha tambak udang mencapai Rp 1 miliar.
Persoalan lain adalah aturan tata ruang dan zonasi wilayah yang berubah-ubah. ”Di aturan, (biaya perizinan) gratis, tetapi ternyata kena biaya izin Rp 1 miliar. Jika tidak dibayar, izin tidak keluar,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhy Wibowo mengemukakan, investasi baru tambak udang terkendala kepastian hukum yang tidak jelas. Padahal, potensi budidaya udang masih tinggi. Ia mencontohkan, ada 60.000 hektar tambak udang tradisional di Lampung dengan produktivitas kurang dari 1 ton per hektar per hari. (LKT)