Beberapa tahun lalu, mungkin agak sulit membayangkan bahwa Indonesia akan mampu merealisasikan jalur dan kereta bandara, tol Trans-Sumatera, tol Trans-Jawa, dan sejumlah infrastruktur penting lain. Kini, dengan mulai terlihat sebagian hasilnya, infrastruktur penting itu bisa menyuntikkan kepercayaan diri bagi perekonomian Indonesia.
Momentum percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia sebetulnya terjadi ketika pemerintah memotong subsidi pada akhir 2014. Sebagai bahan perbandingan, pada 2012, subsidi mencapai Rp 346,4 triliun, lalu meningkat menjadi Rp 392 triliun pada 2014. Rata-rata alokasi subsidi energi sebesar 22,3 persen dari total belanja negara. Lonjakan subsidi terjadi karena peningkatan secara signifikan subsidi bahan bakar minyak dan listrik. Alokasinya mencapai 60 persen dari total subsidi 2012-2014.
Subsidi untuk bahan bakar minyak dan listrik pada 2012 mencapai Rp 306,48 triliun, lalu melonjak menjadi Rp 341,81 triliun pada 2014. Sejak akhir 2014, pemerintah mereformasi kebijakan fiskal, termasuk terkait subsidi yang dilakukan secara bertahap. Reformasi kebijakan fiskal itu ditandai dengan pengetatan subsidi energi melalui pencabutan subsidi premium dan penerapan subsidi tetap untuk solar. Dampaknya, subsidi bahan bakar minyak turun dari Rp 240 triliun pada 2014 menjadi Rp 60,8 triliun pada 2015. Pada 2016, realisasi subsidi turun lagi menjadi Rp 43,7 triliun karena harga minyak dunia turun. Pada 2017, pemerintah hanya mengalokasikan subsidi bahan bakar minyak Rp 32,3 triliun.
Reformasi kebijakan fiskal juga diterapkan untuk subsidi listrik sehingga subsidi turun dari Rp 101,8 triliun pada 2014 menjadi Rp 58,3 triliun pada 2015. Reformasi subsidi listrik juga masih terus berlanjut. Setelah listrik, pemerintah juga mulai melakukan reformasi subsidi elpiji 3 kilogram. Pengurangan anggaran subsidi secara signifikan itu memungkinkan pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur karena kebutuhan pendanaan sangat besar. Dalam rencana pembangunan jangka menengah 2014-2019, Indonesia membutuhkan dana Rp 6.541 triliun untuk menyelesaikan 225 proyek. APBN diperkirakan hanya sanggup membiayai Rp 1.555 triliun atau sekitar 24 persen dari kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur itu.
Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan dana APBN harus ditutup menggunakan model pembiayaan lain. Pemerintah berencana menerbitkan obligasi dan penarikan pinjaman Rp 3.272 triliun untuk menambah persediaan dana pembangunan infrastruktur. Sementara badan usaha milik negara bisa berkontribusi Rp 312 triliun serta skema kerja sama pemerintah dan swasta bisa menambah Rp 1.308 triliun. Adapun, Rp 93 triliun lainnya akan diwujudkan melalui skema pembiayaan di luar APBN.
Mewujudkan infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia itu memang tidak mudah. Apalagi, salah satu sumber pembiayaan pembangunannya berasal dari surat utang dan pinjaman langsung dari luar negeri. Imbal hasil surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah kemungkinan bisa naik karena likuiditas global akan mengetat. Rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed, dalam beberapa kali tahun ini saja, sudah langsung diikuti oleh terbangnya sebagian modal asing ke AS karena imbal hasil surat utang Pemerintah AS pasti menjadi lebih menarik.
Di tengah ketidakpastian global, kepercayaan diri sebagai bangsa yang bisa mewujudkan mimpi itu menjadi sangat penting. Dulu, mimpi untuk membangun infrastruktur secara masif berhadapan dengan beban subsidi yang besar. Kini, ketika subsidi makin terkendali, mestinya pemerintah tetap harus percaya diri bahwa rencana membangun infrastruktur bisa direalisasikan. Apalagi, semua kalangan yakin bahwa realisasi proyek-proyek infrastruktur itu secara langsung akan berdampak pada daya saing ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Bahkan, negara-negara maju yang infrastruktur dasarnya sudah tersedia, tetap terus membangun untuk menjaga kualitas layanan pada penduduk. Pembangunan juga perlu dilakukan untuk menjaga level pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Sama seperti kita, mereka juga membutuhkan sumber dana di luar anggaran pemerintah.
Bedanya, kini negara-negara maju sudah ngos-ngosan untuk membuat ekonominya tumbuh lebih tinggi lagi, sementara kita masih bisa berlari lebih kencang. Dengan basis PDB yang masih jauh di bawah negara maju, kita berkesempatan untuk melompat lebih jauh lagi. Infrastruktur menjanjikan pijakan yang kuat untuk melakukannya. (A HANDOKO)