Gegap gempita pembangunan infrastruktur di banyak daerah masih menyisakan pekerjaan rumah. Jembatan megah, bandara besar, dan jalan tol yang panjangnya ratusan kilometer masih membutuhkan penyelesaian akhir hingga infrastruktur itu bisa dirasakan langsung oleh masyarakat kebanyakan. Di sinilah peran pemerintah daerah untuk melanjutkan pembangunan yang menelan sumber daya tak kecil itu.
Tangerang dan Bekasi mendapatkan manfaat lebih awal dibandingkan kota-kota yang lain karena pembangunan jalan tol lebih awal di tempat ini. Kini, kota-kota di pantai utara Pulau Jawa mulai mendapat manfaat dari pembangunan jalan tol itu menyusul pembukaan beberapa ruas tol Trans-Jawa. Di Karawang, sudah lama kita bisa melihat pembangunan kawasan industri di sejumlah tempat. Di Subang, beberapa industri mulai masuk di kanan-kiri jalan tol. Di Cirebon jelas terlihat arus wisatawan yang melimpah.
Meski demikian, gambaran-gambaran besar manfaat dari pembangunan jalan tol itu masih menyisakan beberapa masalah. Apakah pembangunan jalan tol bisa dimanfaatkan oleh warga kebanyakan? Apakah pemanfaatan jalan tol itu tidak menimbulkan ketimpangan baru? Apakah pembangunan jalan tol tidak memunculkan masalah baru?
Mengamati perkembangan wilayah-wilayah yang dilewati jalan tol, terlihat bahwa pemerintah daerah menjadi kunci dari pemanfaatan jalan tol itu. Pertama, soal tata ruang. Ketika mendapat akses jalan tol, secepatnya mereka harus menyelesaikan masalah tata ruang. Tata ruang untuk pertanian, misalnya, harus tegas untuk pertanian dan tidak bisa dialihkan ke industri. Bekasi dulu dikenal sebagai daerah pertanian, tetapi kini lahannya makin menipis. Karawang tengah menghadapi ancaman yang sama, padahal daerah ini merupakan lumbung pangan. Sangat mungkin dalam waktu tak lama lagi Subang yang menjadi produsen beras juga bisa jadi tinggal kenangan sebagai lumbung padi.
Konsisten
Pelaksanaan tata ruang harus konsisten. Aturan dan rencana peruntukan lahan harus ditegakkan. Jika tidak, akan muncul pusat kekumuhan baru karena penggunaan lahan tak sesuai peruntukannya. Kekumuhan ini akan memunculkan masalah pelik, antara lain karena bisa menimbulkan kriminalitas. Di beberapa tempat, kekumuhan itu nyata terlihat. Jalan warga sempit, akses air bersih sulit, akses terhadap pekerjaan minim, dan lain-lain. Dengan kata lain, warga hidup dalam kemiskinan.
Ketika tata ruang sudah selesai, persoalan yang harus sejalan dibenahi adalah kapasitas warga. Pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas warga melalui pendidikan agar bisa memasuki pasar kerja yang terbentuk menyusul pembukaan berbagai jenis industri. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung perbaikan kapasitas warga tersebut.
Selama ini selalu ada keluhan dari kalangan pengusaha soal kemampuan sumber daya setempat. Akibatnya, isu penduduk asli dan warga pendatang kerap menyulut masalah. Masalah ini makin rumit menjelang pemilihan kepala daerah.
Peningkatan kapasitas warga akan meningkatkan peran warga dari semula kebanyakan hanya sekadar buruh kelak bisa menjadi tenaga ahli, bahkan bisa masuk dalam posisi manajerial dan eksekutif. Dengan cara seperti itu, pembangunan infrastruktur di banyak tempat dapat dirasakan manfaatnya oleh warga.
Pembangunan infrastruktur di banyak tempat juga terlihat belum didukung dengan penciptaan iklim bisnis setempat yang menunjang. Beberapa peluang bisnis lenyap begitu saja karena pemerintah daerah lebih banyak menunggu dan hanya berpikir jangka pendek, yaitu sekadar mengejar pendapatan asli daerah. Padahal, pasca-pembangunan infrastruktur selesai, pemerintah daerahlah yang seharusnya berganti mengambil peran untuk mengoptimalkan pemanfaatannya.
Kota dan kabupaten lain sepertinya harus belajar dari Kabupaten Banyuwangi di Jawa Timur. Pada awalnya, dengan hanya didukung infrastruktur yang minim, Banyuwangi malah mampu mengembangkan diri dan menjadi kota tujuan wisata. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga mengembangkan kapasitas warga dengan membangun perguruan tinggi. Banyuwangi bukan tipe daerah yang berpangku tangan menunggu proyek dari pemerintah pusat.
Sayang jika daerah yang mendapat proyek infrastruktur malah berdiam diri, tidak tahu apa yang harus dikerjakan (ANDREAS MARYOTO)