Risiko Tekfin Diantisipasi
BANDUNG, KOMPAS — Layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi berkembang pesat. Perkembangan tersebut seiring dengan manfaat yang diperoleh para pihak yang terlibat, yakni peminjam dan pemberi pinjaman.
Namun, risiko gagal dalam perkembangan teknologi finansial (tekfin) tetap harus diwaspadai. Masyarakat sebagai konsumen dalam pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi atau peer to peer lending ini tetap harus dilindungi.
”Peer to peer lending ini bukan lembaga keuangan. OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan mengatur transparansinya dengan prinsip utama bermanfaat bagi masyarakat, tata kelola yang baik, dan melindungi konsumen,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, Sabtu (3/3), di Bandung, Jawa Barat.
Jika terjadi kegagalan, OJK tidak bertanggung jawab meski OJK mengharuskan pelaku pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi untuk mendaftarkan platform yang digunakan sebagai penghubung peminjam dan pemberi pinjaman.
Saat ini, 36 perusahaan pinjam-meminjam antarpihak terdaftar di OJK. Adapun 42 perusahaan sedang dalam proses pendaftaran dan 42 perusahaan lain berminat untuk mendaftar.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) 2 OJK Muhammad Ihsanuddin menambahkan, sudah ada pinjaman macet (NPL) dalam proses pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi. Pada akhir Desember 2017, rasio NPL sekitar 0,99 persen dari total pinjaman yang disalurkan. Namun, pada Januari 2018, rasio NPL meningkat menjadi 1,28 persen.
”Jumlah pinjaman yang disalurkan per akhir Januari 2018 sebesar Rp 3 triliun, yang meningkat 17,11 persen sejak awal tahun,” kata Ihsanuddin.
Sementara itu, jumlah peminjam meningkat 14,82 persen sejak awal tahun ini menjadi 115.897 orang per akhir Januari 2018. Jumlah pemberi pinjaman per akhir Januari 2018 sebanyak 330.154 orang atau meningkat 27,16 persen sejak awal 2018.
Wimboh menambahkan, rencana OJK mengatur pinjam-meminjam antarpihak ini agar semua produk tekfin mengikuti asas keadilan. Sebab, risiko dalam tekfin—berupa kegagalan pengembalian pinjaman—akan ditanggung pemberi pinjaman.
”Aturan itu nantinya akan meminta penyedia platform untuk transparan. Apakah perlu asuransi pinjaman? Belum tahu,” kata Wimboh.
Tak bisa dihindari
Perihal NPL dalam pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi, Co-Founder dan CEO Modalku, Reynold Wijaya, berpendapat, hal itu tidak bisa dihindari. NPL juga terjadi pada industri perbankan yang telah memiliki agunan dan profil konsumen lebih lengkap.
Menurut Reynold, layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi merupakan solusi bagi pelaku usaha yang tidak terlayani dan terhubung dengan perbankan. Kendati demikian, pelaku usaha tersebut dinilai layak menerima pinjaman.
”Dengan kata lain, segmen tersebut mempunyai tingkat risiko lebih tinggi. Tentunya rasio pinjaman bermasalah mereka lebih tinggi dibandingkan dengan debitor perbankan. Tujuan layanan peer to peer lending bukan untuk mengejar rasio pinjaman bermasalah 0 persen, melainkan mencapai inklusi finansial,” ujar Reynold.
Tingkat suku bunga layanan ini juga dibuat tinggi meski sejauh ini tingkat suku bunganya dinilai masih dalam batas wajar. Bahkan, ada pula yang lebih murah daripada kredit tanpa agunan dan kartu kredit.
Reynold mengaku ada pinjaman macet di Modalku. Namun, rasionya 0,5 persen.
”Kami membuka mata untuk menerima rasio pinjaman bermasalah lebih tinggi. Namun, pada saat bersamaan, kami juga mengimbangi kondisi ini dengan memberikan suku bunga lebih tinggi,” katanya.
Dengan cara itu, pemberi pinjaman akan menerima keuntungan yang tetap baik.
Modalku beroperasi di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Total pinjaman per awal Maret 2018 sebesar Rp 1,22 triliun dengan angsuran yang sudah diterima Rp 864,6 miliar.
Sementara itu, CEO Investree Adrian Gunadi menyebutkan, Investree menerima permintaan pinjaman berupa bukti pembayaran produk sehingga pelunasan pinjaman menjadi lebih jelas.
Sistem penagihan juga lancar.
Per Maret 2018, pinjaman lewat Investree Rp 512 miliar.
”Apabila muncul potensi keterlambatan pembayaran, tim penagihan akan langsung menemui penerima dana pinjaman,” katanya.
Untuk mengantisipasi NPL lebih besar, Adrian berpendapat mesti bekerja sama dengan perusahaan asuransi penjaminan.(MED/IDR)