JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan menerima laporan adanya sejumlah perusahaan finansial berbasis teknologi yang menawarkan investasi atau transaksi menggunakan mata uang virtual. Untuk mengurangi besarnya risiko bagi masyarakat, OJK tengah menyiapkan regulasi untuk mengatur transparansi perusahaan teknologi finansial.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, aturan itu akan mendorong perusahaan teknologi finansial (tekfin) mengedepankan transparansi. Perusahaan dituntut transparan dalam hal jenis produk, jumlah tarif, dan besaran komisi dalam pengelolaan dana investasi nasabah.
Untuk mematangkan aturan tersebut, OJK akan lebih dulu memeriksa sembilan perusahaan tekfin yang diduga menawarkan produk investasi berupa mata uang virtual.
”Masyarakat perlu memahami legalitas dan risiko dari produk tekfin yang akan mereka gunakan, baik untuk berinvestasi maupun bertransaksi,” kata Wimboh di Jakarta, Senin (5/3).
Masyarakat perlu memahami legalitas dan risiko dari produk tekfin yang akan mereka gunakan, baik untuk berinvestasi maupun bertransaksi.
Meski popularitas uang virtual atau uang kripto di tengah masyarakat semakin tinggi, lanjut Wimboh, Bank Indonesia telah menyatakan uang virtual bukanlah alat pembayaran yang sah. BI dan OJK tidak menanggung kerugian, apabila masyarakat nekat melakukan investasi dalam platform uang virtual.
OJK memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menindak lembaga keuangan, termasuk tekfin yang menggunakan mata uang virtual. Sementara terkait legalitas dan regulasi produk keuangan, Wimboh mengatakan, hal itu masuk ke dalam ranah pengaturan Bank Indonesia. Peraturan OJK yang akan mendorong jasa layanan tekfin lebih transparan ini, kata Wimboh, akan mulai diberlakukan tahun ini.
CEO Bitcoin.co.id Oscar Darmawan sepakat bahwa, sesuai aturan perundangan, uang virtual tidak dapat digunakan untuk melakukan transaksi di pasar domestik. Namun, Oscar mengatakan, uang virtual dapat digolongkan sebagai komoditas barang tidak berwujud yang dapat diperdagangkan. Payung hukum dari landasan ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi dan UU No 7/2014 tentang Perdagangan. ”Jadi, mata uang virtual seperti bitcoin dapat dipandang sebagai aset digital” ujarnya.
Sementara itu, Director of Fintech di SP Jain School of Global Management Mumbai (India) Vikram Pandya berpandangan, secara desain, bitcoin sebagai uang virtual mirip dengan internet. Karena itu, pemerintah tidak bisa menerapkan sensor atau mengendalikan bitcoin secara langsung. Pemerintah hanya dapat mengendalikan cara dan sarana seseorang memperoleh hingga menggunakan bitcoin. ”Upaya itu untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan pada teroris. Regulasi perlu dibuat pemerintah untuk menghindari manipulasi pasar,” ujarnya.
Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, ”Inovasi (uang virtual) cukup kompleks. Jadi, upaya mengaturnya pun akan membutuhkan lebih dari satu instansi pemerintah,” ujarnya. (DIM/MED)