JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Fintech Indonesia berharap regulator melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2017 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Penyempurnaan ini dirasa sejalan dengan industri yang terus berkembang.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Adrian Gunadi, Selasa (6/3) di Jakarta, menyebutkan, penyempurnaan mencakup beberapa substansi, seperti penetapan rasio ideal pinjaman bermasalah (nonperforming loan/NPL). Tujuannya adalah menjaga kelangsungan industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Menurut dia, pada Desember 2017, total nilai pinjaman yang disalurkan mencapai Rp 350 miliar. Satu bulan kemudian, total nilai sudah bertambah menjadi Rp 3 triliun. NPL per Januari 2018 tercatat sebesar 1,28 persen. NPL ini berlaku bagi pengembalian pinjaman di atas 90 hari.
Substansi kedua yang disarankan Aftech adalah kenaikan modal yang wajib disetor. Sesuai POJK No 77/2017 Pasal 4, penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas wajib memiliki modal yang disetor paling sedikit Rp 1 miliar pada saat pendaftaran.
Kewajiban sama juga berlaku bagi penyelenggara berbentuk badan hukum koperasi. Sementara saat mengajukan perizinan, kedua bentuk penyelenggara tersebut wajib menyerahkan modal kerja Rp 2,5 miliar.
Ketua Kelompok Kerja Peer to Peer (P2P) Lending Aftech Reynold Wijaya mengatakan, kenaikan nilai modal diharapkan mampu melahirkan perusahaan-perusahaan yang lebih kredibel. Dampaknya adalah menumbuhkan kebutuhan sumber daya manusia pengelola layanan yang lebih andal.
”Di China sekarang terdapat ribuan perusahaan penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Dari jumlah sebanyak itu, hanya ada sekitar 10 perusahaan yang kredibel. Pemerintah mendukung mereka yang lebih kredibel,” ujar Reynold.
Lebih jauh, Adrian berpandangan, untuk saat ini, OJK memang seharusnya mendorong perusahaan lain yang belum mendaftar atau mengurus perizinan agar menunaikan kewajibannya.
Sementara prospek industri masa mendatang, dia berharap, pemerintah juga terus mendorong kolaborasi antara pelaku layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi dengan perusahaan jasa keuangan konvensional. Selain lebih efisien, kolaborasi akan mempercepat inklusi keuangan.
”Ukuran inklusi keuangan menurut kami adalah meningkatkan akses pembiayaan kepada UMKM,” kata Adrian.
Laporan Aftech per Desember 2017 menyebutkan, sebanyak 235 perusahaan teknologi finansial (tekfin) beroperasi di Indonesia. Pengguna layanan tekfin terbesar berasal dari kelompok usia 25-35 tahun dengan pendapatan Rp 5 juta-Rp 15 juta per bulan. Mereka umumnya memiliki tingkat literasi yang baik dan paham teknologi digital.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, pihaknya berencana mengatur transparansi industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Transparansi menekankan pada prinsip utama, yakni bermanfaat bagi masyarakat, tata kelola yang baik, dan melindungi konsumen (Kompas, 5/3/2018).