JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mengalokasikan anggaran untuk sertifikasi perikanan budidaya sebesar Rp 2,4 miliar tahun ini. Anggaran itu juga termasuk untuk pembinaan dan proses sertifikasi cara budidaya ikan yang baik.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto di Jakarta, Senin (5/3), mengatakan, sertifikasi diprioritaskan untuk komoditas ekspor hasil perikanan budidaya. Sebagian anggaran sertifikasi dialokasikan ke dinas kelautan dan perikanan di tingkat provinsi, dengan target komoditas ekspor.
Selama ini, sertifikasi cara budidaya ikan yang baik (CBIB) diberikan secara gratis. Mulai tahun depan, pemerintah akan memberlakukan penyatuan ratusan sertifikasi perikanan budidaya ke dalam satu sertifikasi, yakni IndoGAP. IndoGAP atau Indonesian Good Aquaculture Practices adalah persyaratan usaha budidaya ikan untuk menjamin keamanan pangan, mutu produk perikanan budidaya secara kontinu, serta keberlanjutan usaha yang ramah lingkungan.
”Sertifikasi IndoGap akan dilakukan secara independen. Namun, pembinaan (untuk sertifikasi) masih dilakukan oleh pemerintah,” kata Slamet.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo, mengemukakan, Indonesia selama ini tertinggal dalam sertifikasi perikanan budidaya, termasuk untuk produk unggulan, seperti udang. Padahal, komoditas udang merupakan penyumbang terbesar ekspor perikanan nasional.
Sementara itu, negara produsen udang lainnya, yakni Vietnam, sudah memenuhi ketentuan sertifikasi. Hampir seluruh tambak di Vietnam sudah tersertifikasi VietGap. VietGap memiliki kesamaan dengan CBIB.
Sebelumnya, berdasarkan hasil inspeksi terhadap usaha hulu perikanan Indonesia yang dilakukan Directorate General for Health and Food Safety (DG-SANTE) Uni Eropa pada 2017 dan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) pada 2016, muncul rekomendasi agar bahan baku yang masuk ke unit pengolahan ikan (UPI) diharuskan berasal dari tambak yang mempunyai sertifikat CBIB. Pengusaha kapal atau pemasok perikanan juga harus mengantongi sertifikat cara penanganan ikan yang baik (CPIB).
Diakui internasional
Secara terpisah, Ketua Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto, berpendapat, sertifikasi sejauh ini lebih banyak diminta sebagai persyaratan pasar. Meski tambak udang belum banyak memenuhi sertifikasi, tetapi produk udang masih laku diekspor karena permintaan dunia yang tinggi.
Permintaan udang dunia pada 2017 mencapai 6,9 juta ton, naik dibandingkan 2011 sebesar 6 juta ton. Di sisi lain, pasokan udang dunia dari hasil budidaya dan tangkapan terus menurun dalam 6 tahun terakhir, yakni dari 5,95 juta ton pada 2011 menjadi 4,485 juta ton pada 2017.
Saat ini, masih banyak negara importir udang yang dinilai menerapkan sertifikasi dengan standar tertentu dan komersial. Biaya sertifikasi internasional juga kerap mahal. ”Pemenuhan standar internasional itu juga tidak menjamin kenaikan harga jual produk,” kata Iwan.
Amerika Serikat, misalnya, mengacu pada sertifikasi Best Aquaculture Practices (BAP). Sementara Uni Eropa mengikuti standar Global Good Aquaculture Practices (GlobalGAP). Sertifikasi internasional itu masih terbagi lagi ke dalam sertifikasi untuk setiap komoditas perikanan.
Menurut Iwan, penerbitan sertifikasi IndoGap harus bisa diakui pasar internasional sehingga tidak membebani petambak yang ingin masuk ke pasar ekspor. Lebih dari itu, sertifikasi harus dapat memberi banyak manfaat, terutama dari aspek usaha yang ramah lingkungan, pengelolaan limbah terkontrol, dan penyakit udang terkendali.
”Kami mendukung sertifikasi. Namun, harus membawa manfaat untuk pelestarian lingkungan, budidaya udang, dan dterima setara dengan sertifikat dunia lainnya,” ujarnya.
Budhi mengatakan, masih banyak petambak skala kecil dan baru yang membutuhkan pendampingan dan dorongan untuk melakukan sertifikasi. Pada tahap awal, pemerintah diminta fokus memperbanyak tambak yang bersertifikat CBIB, serta pengusaha kapal dan pemasok ikan mengantongi CPIB.
Sertifikasi tidak hanya untuk kepentingan peningkatan pasar, tetapi juga menjaga keberlanjutan usaha yang ramah lingkungan. Saat ini, pasar internasional semakin mensyaratkan produk yang dihasilkan dari cara budidaya yang baik.
”Perlu upaya nyata seluruh pemangku kepentingan, baik itu pemerintah maupun swasta pemilik tambak, pemilik kapal, supplier, dan unit pengolahan ikan untuk bahu-membahu mengatasi masalah ini,” katanya.
Negara tujuan utama ekspor hasil perikanan Indonesia adalah AS, yakni sekitar 40 persen dan Jepang sekitar 15 persen. Komoditas utama yang diekspor adalah udang dan tuna.
Kualifikasi keamanan pangan, ketertelusuran (traceability) dan keberlanjutan (sustainability) kini kian dituntut pasar internasional. Salah satu syarat keamanan pangan adalah sertifikasi yang meliputi cara budidaya ikan yang baik, pembenihan, dan pengolahan ikan. (LKT)