JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan tidak akan menaikkan tarif listrik dan harga bahan bakar minyak sampai 2019. Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat. Dampak dari kebijakan ini, subsidi energi akan ditambah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, kebijakan tersebut mendapat persetujuan Presiden dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat. Pemerintah sudah memutuskan tarif listrik tidak akan naik sampai 2019. Kebijakan itu akan berdampak pada penambahan subsidi listrik.
”Soal BBM, arahan Presiden sesuai kesepakatan dengan Pertamina, Kementerian BUMN, dan Kementerian ESDM bahwa BBM penugasan RON 88 (premium) harganya dipertahankan tidak naik,” kata Jonan dalam konferensi pers, Senin (5/3) malam, di Jakarta.
Arahan Presiden sesuai kesepakatan dengan Pertamina, Kementerian BUMN, dan Kementerian ESDM bahwa BBM penugasan RON 88 (premium) harganya dipertahankan tidak naik
Jonan mengatakan, keputusan soal harga BBM (premium dan solar bersubsidi) tetap akan mempertimbangkan harga minyak dunia. Seandainya harga minyak naik sampai mencapai 100 dollar AS per barrel, pemerintah dapat meninjau ulang penetapan harga premium dan solar bersubsidi. Pemerintah juga mempertimbangkan kompensasi yang akan diberikan pada Pertamina terkait keputusan itu.
”Sekali lagi, ini bukan semata-mata pertimbangan politik 2019. Ini mempertimbangkan daya beli masyarakat,” ujar Jonan.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial mengakui, akan ada konsekuensi dari langkah untuk tak menaikkan harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi. Subsidi solar yang kini besarnya Rp 500 per liter, bakal membengkak.
”Akan kami bicarakan dengan Komisi VII DPR kemungkinan untuk menambah subsidi solar. Sebelumnya kami pernah mengusulkan kenaikan subsidi solar menjadi Rp 750 per liter. Saya kira nanti usulannya tidak jauh dari itu,” kata Ego.
Harga dunia
Sejak 1 April 2016, pemerintah menetapkan harga premium Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Berdasar aturan, pemerintah dapat mengkaji ulang harga kedua jenis bahan bakar itu tiap tiga bulan. Pertimbangan penetapan harga tersebut mengacu pada harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, konsekuensi jangka pendek dari keputusan pemerintah itu adalah perlunya penambahan subsidi listrik dan BBM. Menurut dia, hal itu dapat dilakukan melalui mekanisme pembahasan asumsi makro APBN Perubahan 2018. Adapun konsekuensi teknisnya, yakni kemunduran pengelolaan energi di dalam negeri.
”Kita akan masuk lagi dalam jebakan subsidi energi. Kalau tidak dibatasi, dalam jangka panjang ini akan memperlemah ketahanan fiskal kita. Pengembangan energi alternatif dan infrastruktur akan terhambat,” ujar Pri Agung.
Dihubungi terpisah, Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan, secara finansial, keputusan tak menaikkan harga premium dan solar bersubsidi akan menekan aliran kas perusahaan di tengah harga minyak yang cenderung naik.
Namun, Pertamina tetap akan patuh dan melaksanakan keputusan pemerintah itu. Salah satu jalan keluar mengurangi beban finansial ini adalah dengan mengajak masyarakat beralih ke bahan bakar lebih ramah lingkungan, seperti pertalite (RON 90) atau pertamax (RON 92). Harga jual pertalite dan pertamax sesuai pergerakan harga minyak dunia.
Menurut Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka, secara prinsip, PLN tak keberatan dengan keputusan pemerintah untuk tak menaikkan tarif listrik di tengah meroketnya harga batubara. Namun, PLN berharap dukungan pemerintah untuk memberi harga khusus batubara bagi pembangkit listrik PLN agar tak disamakan dengan harga pasar internasional yang kini di atas 100 dollar AS per ton.
”Tahun lalu saja, kami harus menambah ongkos operasional sampai Rp 17 triliun akibat harga batubara naik sementara tarif listrik tak berubah. Kami masih menunggu kebijakan pemerintah mengenai harga khusus batubara untuk keperluan pembangkit listrik PLN,” ujar Made. (APO)