JAKARTA, KOMPAS - Dalam perundingan Perjanjian Kerja Bersama, pekerja/buruh perempuan yang tergabung dalam serikat mempunyai suara yang setara dengan lelaki. Hanya, hingga sekarang, mereka masih belum banyak berbicara langsung.
Kepala Program Federasi Serikat Pekerja Garteks, Elly Rosita Silaban, berpandangan, salah satu faktor penyebab adalah konstruksi sosial. Misalnya, anggota serikat perempuan sudah diberikan kesempatan ikut berunding, tetapi mereka memilih tidak mengambil kesempatan itu. Alasannya adalah takut salah bersuara.
"Akhirnya, anggota serikat laki-laki lah berbondong-bondong datang ke rapat perundingan. Mental konstruksi sosial seperti itu harus dihilangkan dulu," ujar dia yang ditemui di sela-sela diskusi Saatnya Perempuan Setara dalam Perundingan Perjanjian Kerja Bersama, Kamis (8/3), di Jakarta.
Diskusi itu diselenggarakan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh tanggal 8 Maret.
Meski sudah masuk serikat, pekerja perempuan tidak begitu saja lepas dari sterotipe gender. Rata-rata mereka menduduki jabatan sebagai notulen atau juru tulis. Akibatnya, mereka tidak bisa banyak berperan sebagai juru runding saat pembahasan PKB dengan manajemen perusahaan.
Customer Service Supervisor di Avery Dennison, Susy Bakara, memiliki pandangan berbeda. Pada saat ini, sejumlah perusahaan skala menengah besar sudah menerapkan prinsip kesetaraan gender. Sebagai contoh, perusahaan mematok 30 persen dari total karyawan haruslah perempuan. Porsi ini bukan sekadar kuantitas, melainkan kualitas.
Para perempuan didorong selalu aktif meningkatkan keterampilan dan berani menyuarakan pendapat. Ini menjadi bekal mereka maju ke perundingan kerja yang menyangkut hak-hak mereka.
"Pekerja perempuan itu suka merasa inferior. Tidak percaya diri akan kemampuan yang dipunya," tutur Sumondang.
Data Badan Pusat Statistik Februari 2017 menyebutkan, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki mencapai 83,05 persen, sedangkan TPAK perempuan 55,04 persen.
Kasubdit Hubungan Kerja Direktorat Persyaratan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Sumondang, mengemukakan, regulasi ketenagakerjaan di Indonesia tidak membedakan psosisi pekerja perempuan dan laki-laki. Keduanya berhak atas kehidupan layak dan berserikat.
Sayangnya, praktik di lapangan tidak seperti itu. Perbedaan gender menyebabkan kesenjangan upah, meskipun pekerja perempuan itu berada di jenjang karir yang sama dengan laki-laki.
"Stereotipe gender sudah dimulai sejak perempuan mencari pekerjaan. Beberapa info lowongan kerja, misalnya, menginginkan calon tenaga kerja perempuan dengan kriteria fisik tertentu. Kriteria fisik inilah yang ditonjolkan dibandingkan keahlian," kata Sumondang.