JAKARTA, KOMPAS – Setiap korporasi wajib mendeklarasikan pemilik manfaat utama dari kegiatan usahanya. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme yang acapkali dilakukan dengan tidak menyebutkan jati diri pemilik manfaat utama dalam kepemilikan formal korporasi yang didaftarkan.
Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Presiden (perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilikan Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan ini per 1 Maret 2018.
”Ini menjadi momentum yang bagus untuk transformasi menuju transparansi. Kabar baik ini komplementer dengan sejumlah kebijakan mendorong tranparansi yang telah diterbitkan pemerintah sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo di Jakarta, Rabu (7/3).
Langkah yang harus dipastikan berikutnya, Prastowo melanjutkan, adalah bahwa peraturan tersebut bisa dilaksanakan sampai tataran teknis sehingga efektif mencegah dan memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme. Data tersebut juga bisa diintegrasikan dengan data pajak guna meminimalisasi penghindaran pajak dan perencanaan pajak yang agresif.
Hal tak kalah penting adalah akuntabilitas. Deklarasi pemilik manfaat utama, menurut Prastowo, merupakan kebijakan yang luar biasa. Oleh sebab itu, pemerintah harus menjamin akuntabilitasnya agar tidak menjadi kontraproduktif terhadap usaha meningatkan investasi.
Secara terpisah, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Baddarudin, menyatakan, perpres tersebut bertujuan mendorong transparansi. Tujuan penting lainnya adalah mendorong agar kegiatan ekonomi bisa terbka dan berintegritas. Selain mencegah dan memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme, langkah tersebut juga akan bermanfaat untuk meminimalisasi penggelapan pajak dan penipuan.
Akta pendirian perusahan acapkali memakai nomine atau nama orang lain. Sementara pemilik sebenarnya sengaja disembunyikan Sekarang, ini harus dideklarasikan. Untuk itu PPATK siap bekerjasama dengan instansi yang berwenang untuk menjalankan pengawasan.
Perpres Nomor 13 Tahun 2018 mewajibkan setiap korporasi menetapkan dan melaporkan pemilik manfaat utama yang sebenarnya. Korporasi yang dimaksud meliputi perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutan firma, dan bentuk korporasi lainnya.
Secara umum, pemilik manfaat utama dikategorikan sebagai pribadi yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi. Dia juga memiliki kemampuan mengendalikan korporasi, berhak atas manfaat dari korporasi secara langsung maupun tidak langsung, serta merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi.
Data disampaikan kepada instansi di pusat maupun daerah yang berwenang dalam hal pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pemberitahuan, perijinan usaha, atau pembubaran korporasi. Atau juga instansi yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan bidang usaha korporasi. Instansi pemerintah ini sekaligus juga bertanggung-jawab mengawasi dengan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Data yang disampaikan antara lain adalah nama lengkap, alamat, Nomor Induk Kependudukan, Nomor Pajak Wajib Pajak, dan paspor. Pemutakhiran dan pelaporan data wajib dilakukan setiap tahun sekali.
Poin penting lainnya adalah terdapat sanksi bagi korporasi yang tidak menjalankan kebijakan ini. Adapun sanksinya tidak diatur dalam peraturan presiden tersebut.
Salah satu pasal menyebutkan, data bisa dipertukarkan dalam skema kerjasama dengan instansi dalam negeri maupun luar negeri. Pertukaran informasi ini dilakukan melalui pemberian askes instansi peminta atau pihak pelapor.
Guna mencegah dan memberatas pencucian uang dan pendanan terorisme, instansi berwenang dapat bekerja sama mempertukarkan informasi pemilik manfaat dengan instansi penegak hukum dan instansi pemerintah yang relevan lainnya baik nasional maupun internasional. Hal ini dilakukan dengan tetap mengacu pada ketentuan undang-undang.
Pasal 29 menyebutkan, setiap orang dapat meminta informasi pemilik manfaat kepada instansi berwenang. Permintaan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang keterbukaan informasi publik.