JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan pesimistis target peremajaan 185.000 hektar kebun sawit rakyat bakal tercapai tahun ini. Status lahan menjadi problem terbesar. Kalangan petani berharap pemerintah serius membantu dengan mencarikan jalan keluar.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Danang Girindrawardana di Jakarta, Rabu (7/3), berpendapat, petani kelapa sawit yang tanamannya menjadi target peremajaan menghadapi masalah status kebun. Sebagian besar terindikasi masuk kawasan hutan. ”Pemerintah tahu soal kendala itu, tetapi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak bisa dengan mudah mencabut status indikasi hutan,” ujarnya.
Problem itu terus menghadang selama pemerintah tidak mencarikan jalan keluar.
Menurut Danang, salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah dengan memeriksa detail lokasi berikut garis batasnya. Selanjutnya, menetapkan wilayah yang masuk kawasan hutan dan nonhutan melalui surat keputusan. Kemudian, mencarikan solusi bagi petani di kawasan hutan.
Tanpa terobosan terkait status lahan, target peremajaan dinilai bakal sulit tercapai. Tahun lalu, pemerintah menargetkan peremajaan 20.780 hektar, tetapi realisasinya diperkirakan hanya 3.000 hektar. Dengan peningkatan alokasi dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), target peremajaan diperluas menjadi 185.000 hektar tahun ini.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang menambahkan, pihaknya akan mengejar realisasi peremajaan, setidaknya 100.000 hektar sampai dengan akhir tahun 2018. Sebanyak 85.000 hektar sisanya diupayakan rampung pada triwulan I-2019. Syaratnya, di samping kejelasan status lahan, kebutuhan 27,7 juta bibit harus terpenuhi.
”Kami sudah memanggil 17 perusahaan pembibitan nasional untuk memenuhi kebutuhan bibit program peremajaan sawit rakyat. Setidaknya ada waktu hingga akhir Maret ini untuk menyiapkan bibit agar target peremajaan bisa tercapai, setidaknya pada triwulan I-2019,” kata Bambang.
Terkait lahan, tambah Bambang, pihaknya berupaya mencari solusi bersama lembaga dan instansi terkait. Upaya itu juga melibatkan, antara lain, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi untuk pendataan. Petani sawit rakyat diharapkan bisa segera memperoleh kepastian soal lahan sekaligus bisa mengakses bantuan untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan.
Butuh prioritas
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menambahkan, kelapa sawit terbukti menjadi penyumbang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Karena itu, pengembangannya perlu diprioritaskan, khususnya terkait dengan pemacuan produktivitas, penelitian dan pengembangan, serta peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi.
Tahun lalu, kata Bhima, perkebunan kelapa sawit menyerap 8,2 juta tenaga kerja langsung—dengan lebih dari 4 juta petani rakyat—dan sekitar 13 juta pekerja tidak langsung di hilir. Pendapatan masyarakat di perkebunan sawit tercatat 4 kali lebih tinggi di atas garis kemiskinan di luar Pulau Jawa.
Peningkatan produksi kelapa sawit juga meningkatkan kinerja sektor manufaktur, khususnya di industri makanan dan minuman, yang tahun lalu tumbuh 9,23 persen. ”Saat perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5 persen, industri pengolahan tumbuh 4,2 persen, industri makanan minuman tumbuh 9,23 persen. Porsi kelapa sawit dalam ekspor nonmigas Indonesia meningkat dari 12,57 persen di 2012 jadi 15,01 persen di 2017,” ujarnya. (MKN)