JAKARTA, KOMPAS — Kewajiban korporasi untuk mendeklarasikan pemilik sebenarnya akan meminimalisasi penggelapan dan penghindaran pajak. Selama ini, penyembunyian jati diri pemilik sebenarnya dari korporasi merupakan modus penggelapan dan penghindaran pajak.
Darussalam dari Danny Darussalam Tax Center di Jakarta, Kamis (8/3), menyatakan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 merupakan ketentuan yang sangat dibutuhkan Indonesia. Peraturan Presiden tersebut bertujuan mengetahui pemilik sebenarnya dari badan usaha atau beneficial ownership.
Perpres No 13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilikan Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme baru saja diterbitkan. Intinya, mewajibkan setiap korporasi menetapkan dan melaporkan pemilik perusahaan yang sebenarnya.
Data yang disampaikan antara lain nama lengkap, alamat, nomor induk kependudukan, nomor pajak wajib pajak, dan paspor. Pemutakhiran dan pelaporan data wajib dilakukan sekali dalam setahun.
Korporasi yang dimaksud meliputi perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya.
Korporasi yang dimaksud meliputi perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya.
”Perpres ini tujuannya tidak hanya dalam rangka mencegah dan memutus mata rantai pencucian uang dan pendanaan terorisme. Akan tetapi, juga terkait dengan masalah pajak, yaitu untuk memerangi praktik penggelapan pajak dan penghindaran pajak,” kata Darussalam.
Modus yang jamak dilakukan untuk penggelapan dan penghindaran pajak, kata Darussalam, adalah menyamarkan pemilik sebenarnya dari korporasi. Fenomena ini menjadi salah satu faktor penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi di Indonesia yang selama ini termasuk rendah.
Secara terpisah, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menyatakan, Perpres No 13/2018 tidak langsung berkaitan dengan pajak. Namun, aturan ini menjadi salah satu payung hukum penting untuk memperkuat reformasi pajak.
Dalam hal skema pertukaran informasi berdasarkan permintaan antarnegara, data kepemilikan korporasi sebenarnya merupakan salah satu dari 10 persyaratan.
”Perpres ini bisa membantu kepatuhan Indonesia terhadap skema internasional tersebut. Saat ini, status Indonesia masih partially compliance,” kata Yoga.
Selanjutnya, menurut Yoga, DJP akan menjalin kerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selaku otoritas yang menerima data kepemilikan korporasi tersebut. Akses data ini akan berguna untuk mendorong kepatuhan wajib pajak.
Dalam Perpres No 13/2018, pemilik perusahaan yang sebenarnya dikategorikan sebagai pribadi yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi. Dia juga memiliki kemampuan mengendalikan korporasi, berhak atas manfaat dari korporasi secara langsung maupun tidak langsung, serta merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi.
Aturan itu menyebutkan, ada sanksi bagi korporasi yang tidak menjalankan kebijakan ini. (LAS)