Pada 28 Februari 2018, Kementerian Komunikasi dan Informatika resmi menutup registrasi ulang nomor prabayar jasa telekomunikasi dengan validasi data kependudukan dan pencatatan sipil. Saat itu, terdapat 305,78 juta nomor dari sekitar 376 juta nomor prabayar beredar terdaftar ulang.
Data dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia menunjukkan, nomor yang teregistrasi antara lain Telkomsel 172 juta, Indosat Ooredoo 101 juta, XL Axiata 30 juta, Smartfren 5,8 juta, dan Hutchison Indonesia 20 juta. Memasuki masa blokir sampai Mei 2018, operator telekomunikasi tetap berusaha keras mendorong pelanggan prabayar untuk melakukan registrasi ulang.
Pada 4 Maret, data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyebutkan, sudah 321,5 juta nomor prabayar teregristrasi dengan validasi data kependudukan dan pencatatan sipil. Kabar pemberian insentif telah berembus selama Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018. Belum lagi menjelang tenggat beredar informasi bahwa kementerian siap membantu pelanggan yang mengalami masalah pendaftaran. Caranya adalah pelanggan itu cukup mengirim foto KTP dan kartu keluarga kepada Tim Help Desk.
Sistem registrasi yang dianjurkan oleh Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2017 itu juga dirasa masih membuka peluang bagi seseorang melakukan registrasi berganda terhadap kartu prabayar. Di lapangan, hal itu mungkin dilakukan melalui gerai layanan. Satu identitas KTP bisa dipakai daftar berkali-kali.
Sejak 20 Februari, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil bahkan sempat menaikkan kapasitas hingga dua kali lipat guna memperlancar proses pendaftaran. Hal ini belum bisa menghindari masih banyaknya pelanggan yang berniat bersih mengikuti arahan registrasi ulang, tetapi gagal.
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil menilai, ada beberapa penyebab kegagalan antara lain salah ketik NIK, salah ketik nomor kartu keluarga, dan data penduduk ganda.
Persoalan pun tidak berhenti di situ. Di sejumlah daerah, muncul keluhan pelanggan karena data identitasnya digunakan pihak lain. Kejadian ini bermula dari anjuran agar masyarakat yang sudah mendaftar ulang diminta mengecek kembali status registrasinya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengemukakan, selama dua tahun terakhir, pengaduan konsumen mengenai layanan telekomunikasi seluler selalu berada di urutan lima besar. Salah satu pengaduan yang disorot adalah tingginya disparitas harga atau layanan yang ditawarkan di kartu perdana nomor prabayar dengan isi ulang.
Harga penawaran di kartu perdana nomor prabayar cenderung lebih murah untuk beragam layanan. Sementara harga isi ulang cenderung lebih mahal untuk ragam layanan hampir serupa. Akibatnya, sejumlah konsumen lebih memilih beli-pakai-buang kartu perdana dibandingkan isi ulang. Pengaduan selanjutnya yang disorot adalah kualitas jaringan. Pelanggan masih saja ada yang mengalami on-off atau blank spot jaringan.
Sampai tenggat kewajiban registrasi ulang dengan validasi data kependudukan dan pencatatan sipil berakhir, masih ada kasus pelanggan yang sudah registrasi ulang dan ditipu. Mekanisme sampai tindak lanjut pengaduan yang belum tersosialisasikan dengan baik membuat pelanggan enggan melapor.
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengatakan, operator wajib menyetorkan laporan data pelanggan prabayar setiap tiga bulan sekali. Isi laporan meliputi identitas pelanggan, jumlah nomor yang digunakan, serta peruntukan pemakaian nomor. BRTI juga berkomitmen melakukan evaluasi secara menyeluruh pelaksanaan registrasi ulang dengan validasi data kependudukan dan pencatatan sipil. Hasil inilah ditunggu masyarakat.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan selanjutnya adalah pemerintah berani melakukan transparansi data pengguna nomor prabayar dan mendorong operator telekomunikasi mengutamakan kualitas layanan. Operator semestinya tidak hanya mengejar kuantitas.