Sertifikasi perikanan kembali disorot, seiring tuntutan pasar dunia agar produk yang dikonsumsi terjamin keamanannya serta dihasilkan oleh usaha yang ramah lingkungan dan lestari. Di Tanah Air, tarik-ulur pengaturan pembudidaya perikanan untuk menerapkan sertifikasi masih terjadi.
Pada usaha budidaya, berlaku sertifikasi cara budidaya ikan yang baik (CBIB) untuk komoditas udang, rumput laut, ikan laut di keramba jaring apung, ikan air tawar, dan ikan hias. Namun, sebagian pelaku usaha, terutama di sektor hulu, belum tergerak melakukan sertifikasi perikanan. Hal itu disebabkan mereka menilai, tidak ada pengaruh signifikan sertifikasi itu terhadap kenaikan harga produk perikanan.
Data dari Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), realisasi sertifikasi CBIB untuk komoditas udang hanya 1 persen dari total jumlah tambak di Indonesia. Minimnya pembudidaya yang memperoleh sertifikasi CBIB antara lain dipicu kurangnya pendampingan dan sosialisasi terkait manfaat sertifikasi perikanan itu bagi keberlanjutan usaha.
Gaung sertifikasi CBIB meredup pada 2017. Sertifikasi CBIB yang diberikan gratis oleh pemerintah hampir mandek. Tahun ini, anggaran pemerintah untuk sertifikasi CBIB kembali bergulir, yakni senilai Rp 2,4 miliar, turun drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang menembus Rp 5 miliar.
Tahun depan, pemerintah berencana memberlakukan sertifikasi IndoGAP atau Indonesian Good Aquaculture Practices yang setara dengan sertifikasi perikanan internasional. IndoGAP disusun mengacu pada standar (guideline) perikanan budidaya yang diterbitkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).
Meyakinkan
Kendalanya, di tingkat regional, pemerintah belum bisa meyakinkan pasar internasional bahwa sertifikasi CBIB ataupun IndoGAP setara dengan sertifikasi perikanan yang diakui negara-negara lain. Belum lagi, sertifikasi yang disyaratkan negara tujuan ekspor kerap berbeda dengan sertifikasi yang diminta oleh pembeli.
Sertifikasi yang diminta oleh pembeli cenderung sepihak dan berbiaya tinggi. Hal itu tampak pada sertifikasi Global Good Aquaculture Practices (GlobalGAP) yang digunakan pembeli di Uni Eropa ataupun Best Aquaculture Practices (BAP) yang digunakan Amerika Serikat.
Suka atau tidak suka, penerapan sertifikasi perikanan jadi keharusan di tengah persaingan pasar global. Jika ketentuan sertifikasi diabaikan, produk perikanan budidaya Indonesia dikhawatirkan kelak ditolak masuk ke negara tujuan ekspor.
Di sisi lain, upaya mendorong pelaku usaha menerapkan sertifikasi perikanan harus diimbangi pendampingan, demi menjaga keberlanjutan usaha dan mutu produk perikanan. Di sinilah peran penyuluh perikanan sebagai ujung tombak pemerintah perlu ditingkatkan sebagai pendamping usaha.
Pemerintah juga dituntut serius meyakinkan pasar internasional bahwa sertifikasi nasional itu memiliki kesetaraan dengan sertifikasi yang diakui internasional. Jangan sampai, pembudidaya kelak terbebani beragam sertifikasi, akibat standar ganda yang diterapkan negara tujuan ekspor atau pembeli luar negeri.
Tak kalah pentingnya, sertifikasi perikanan perlu dipersyaratkan untuk menjamin keamanan pangan dalam negeri. Produk perikanan berkualitas bukan hanya untuk konsumsi pasar luar negeri, tetapi juga untuk memuliakan konsumen di dalam negeri agar bisa menikmati produk yang terjamin mutu dan keamanannya. (BM Lukita Grahadyarini)