Fundamen Ekonomi Dijaga
Nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan melemah dalam beberapa pekan terakhir karena pengaruh global. Pemerintah berkomitmen menjaga fundamen ekonomi.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen menjaga fundamen ekonomi domestik dari sentimen negatif perekonomian global. Melalui kebijakan moneter yang tepat, pemerintah yakin pergerakan indikator ekonomi makro Indonesia tetap berada di jalur positif.
Pada akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang diterbitkan Bank Indonesia (BI), tercatat Rp 13.794 per dollar AS, melemah dari Rp 13.774 per dollar AS sehari sebelumnya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga melemah pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, yakni 6.433, melemah 9,6 poin atau 0,15 persen dibandingkan penutupan perdagangan sehari sebelumnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam kunjungannya ke Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Minggu (11/3), mengatakan, rupiah seharusnya tidak terdepresiasi apabila melihat fundamental ekonomi. Volatilitas atau gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar AS muncul akibat kuatnya sentimen yang berasal dari faktor eksternal.
Gejolak nilai tukar mata uang ini terjadi secara global. Respons yang bisa dilakukan pemerintah adalah menjaga agar fundamen ekonomi Indonesia dan indikator makro tetap pada level positif.
Ekonomi Indonesia telah terintegrasi dengan sistem keuangan global. Koordinasi antara pemerintah dan BI dalam menentukan kebijakan moneter diperlukan untuk memproteksi fundamen ekonomi dalam negeri dari pengaruh ekonomi global.
Padahal, kata Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan IV-2017 mencapai 5,19 persen. Selain itu, inflasi pada dua bulan pertama 2018 hanya 0,79 persen. Neraca perdagangan juga surplus 11,84 miliar dollar AS yang berujung menguatnya cadangan devisa. ”Indikator tersebut yang perlu dijaga,” kata Sri Mulyani.
Pelemahan rupiah terhadap dollar AS tidak melulu berdampak negatif bagi perekonomian domestik. Pelemahan rupiah bisa meningkatkan penerimaan sumber daya alam (SDA) yang penjualannya di pasar internasional mengunakan mata uang dollar AS.
”Beban pembiayaan negara sebenarnya bisa naik karena pembayaran bunga utang menggunakan dollar AS, tetapi pemasukan (APBN) berpotensi meningkat” katanya.
Sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) DI Yogyakarta Budi Hanoto mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hanya bersifat sementara. Volatilitas ini disebabkan ketidakpastian yang dirasakan dunia usaha terhadap kisaran kenaikan suku bunga bank sentral AS atau The Fed.
Dengan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed juga mengarah pada kenaikan paling tidak tiga kali pada tahun 2018, kata Budi, BI mengambil tindakan menjaga kestabilan rupiah sesuai fundamental. Sikap tenang pemerintah menjaga dinamika pasar dibutuhkan di tengah upaya BI mengendalikan volatilitas rupiah lewat kebijakan moneter.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono memproyeksikan perekonomian Indonesia dapat tumbuh lebih baik dari tahun lalu karena ditopang oleh harga komoditas yang bergerak positif. ”Melihat pengalaman pada 2010 hingga 2013, kenaikan harga komoditas dapat mendorong permintaan konsumsi rumah tangga sehingga bisa tumbuh di atas 5 persen,” ujarnya.
Faktor global
Terkait IHSG, pada 19 Februari, IHSG sempat berada pada level 6.689. Posisi IHSG tersebut tertinggi dalam sejarah pasar saham Indonesia. Namun, pada 9 Maret, IHSG ditutup melemah pada 6.433.
Bahana Sekuritas mencatat, sejak awal tahun hingga awal Maret, dana asing yang keluar dari Indonesia Rp 12 triliun. Kebijakan Amerika Serikat (AS) yang memengaruhi kondisi keuangan global, termasuk Indonesia, adalah rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed dan perang dagang. Kedua kebijakan itu memengaruhi pelaku pasar sehingga pasar keuangan global bergejolak.
Kepala Riset dan Strategis Bahana Sekuritas Andri Ngaserin, dalam siaran pers Minggu (11/3), mengatakan, pelemahan indeks terjadi di hampir di seluruh Asia dalam beberapa hari terakhir ini. Tidak hanya Indonesia, negara Asia lainnya, seperti India, Singapura, Malaysia, dan Filipina, juga mengalami.
Kebijakan AS memicu perang dagang dengan manaikkan bea masuk baja dan aluminium. Hal itu dipertegas dengan mundurnya penasihat ekonomi sekaligus ahli perdagangan bebas AS Presiden AS Donald Trump. ”Tekanan terhadap pasar Asia, termasuk Indonesia, diperkirakan masih berlanjut dalam jangka waktu dekat ini,” katanya.
Menurut Andri, gejolak keuangan global pada tahun ini akan ditambah lagi dengan rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali. Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) itu akan membuat imbal hasil surat berharga AS naik.
Kondisi itu akan menyebabkan terjadinya pembalikan dana dari pasar saham dan obligasi Indonesia. Sejak awal tahun hingga awal Maret, dana asing yang keluar dari Indonesia sebesar Rp 12 triliun. Hal itu terjadi meski imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia tenor 10 tahun naik 6,2 persen menjadi 6,8 persen.
Andri menyatakan, gejolak pasar keuangan itu murni terjadi akibat faktor eksternal. Secara fundamental, perekonomian Indonesia masih terus memperlihatkan perbaikan. Beberapa indikasinya adalah penjualan mobil secara nasional pada Februari meningkat lebih dari 10 persen secara tahunan dengan penjualan ritel mencapai 90.000 unit. (DIM/HEN)