Ramai-ramai Bikin Film Dokumenter dengan Snapchat Spectacles
Oleh
DD13
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sembilan anak muda Indonesia menjadi sutradara untuk membuat film dokumenter bersama menggunakan Snapchat Spectacles yang berbentuk kacamata. Snapchat Spectacles membuat film direkam berdasarkan sudut pandang orang yang memakainya.
Anak muda itu adalah Ghafara Difa Harashta, Septian Luthfi, Iswan Heri, Ali Muakhir, Yudhistira Tegar Hermawan, Risky Nath, Annissa Nur Cahya Saputri, Pawadi Jihad, dan Sri Sulistiyani, berasal dari berbagai daerah, seperti Solo, Pontianak, Yogyakarta, Subang, Bandung, Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Mereka menjadi peserta proyek “Buka Mata, Buka Cerita” yang diselenggarakan oleh PT Combiphar.
“Mereka dipilih dari 1.000 orang karena cerita mereka memiliki keunikan, sensitivitas, dan realita yang ada,” kata sutradara film yang terlibat dalam proyek film dokumenter tersebut, Nia Dinata, dalam Premiere Film Mini Dokumenter Pertama di Indonesia Menggunakan Snapchat Spectacles, di Jakarta, Senin (12/3).
Proyek “Buka Mata, Buka Cerita” adalah pembuatan film dokumenter mini yang menampilkan berbagai cerita kehidupan sehari-hari peserta dan keindahan Indonesia dari sudut pandang masing-masing. Awal projek mensyaratkan agar mereka membuat video dokumenter selama satu menit.
Seorang peserta, Ali Muakhir, misalnya, membahas tentang Sariban, seorang warga yang peduli dengan lingkungan, di Bandung, Jawa Barat. Ia menceritakan bagaimana Sariban mengimbau pejalan kaki untuk tidak membuang sampah sembarangan, walaupun umurnya tidak lagi muda.
Contoh lainnya adalah Risky Nath yang menceritakan ia sebagai bagian dari masyarakat Jawa Betawi beragama Kristen. Masyarakat Betawi selama ini identik dengan Muslim, padahal ada juga yang beragama Kristen. Mereka juga memakai kerudung dan peci dalam kegiatan sehari-hari karena aksesoris tersebut merupakan warisan budaya, bukan representasi suatu agama saja.
Setelah itu, film mereka akan digabung bersama beberapa gambar yang diambil oleh Nia. Film gabungan dengan durasi sekitar 3 menit lebih itu menjadi sebuah film dokumenter mini bertajuk “Buka Mata, Buka Cerita”.
Menurut Nia, film dibuat hanya dalam waktu satu menit hingga tiga menit karena dibuat menggunakan Snapchat Spectacles sehingga tidak bisa merekam dalam waktu banyak. Selain itu, penayangan akan melalui berbagai platform media sosial sehingga durasi video tidak bisa terlalu lama. “Durasi sebuah video untuk media guna menarik perhatian hanya sekitar 1-3 menit,” tutur Nia.
Dari situs www.spectacles.com, Snapchat Spectacles adalah sebuah alat perekam video berbentuk kacamata pintar yang diproduksi oleh Snap.Inc, perusahaan aplikasi media sosial Snapchat. Kacamata tersebut dapat merekam video selama 10 detik ketika tombol diklik pertama kali. Video kemudian dapat direkam selama 20-30 detik ketika tombol kembali ditekan.
Nia mengatakan, kacamata tersebut membuat video direkam dari sudut pandang pemakainya. “Kelebihannya adalah ketika ingin melihat suatu objek dari dekat, kita harus mendekatinya. Tidak seperti kamera biasa yang memiliki fasilitas zoom in atau zoom out,” katanya.
Keterbatasan durasi video yang hanya satu menit menjadi tantangan tersendiri bagi peserta projek. Mereka harus selektif untuk memilih adegan apa saja yang akan digunakan. Selain itu, mereka juga harus merencanakan dialog secara saksama karena apa yang mereka ucapkan juga akan terekam.
VP Consumer Healthcare & Wellness and International Operations PT Combiphar Weitarsa Hendarto menambahkan, penggunaan Snapchat Spectacles untuk membuat film dokumenter merupakan yang kali pertama di Indonesia. PT Combiphar adalah perusahaan farmasi yang memproduksi dan memasarkan lebih dari 120 obat-obatan resep dan bebas. Adapun proyek film dokumenter ingin meningkatkan kesadaran menjaga kesehatan mata.
Ia mengatakan, pemilihan kacamata sebagai alat dan pembuatan video dengan sudut pandang pemakainya juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kondisi lingkungan dan esensi kehidupan.
“Kita kadang melihat sesuatu secara terus menerus sehingga melupakan keindahan objek tersebut. Video yang diambil dengan sudut pandang berbeda akan membuat kita kembali peka dengan keindahan yang tidak kita betul-betul perhatikan,” tutur Weitarsa.
Film “Yang Berdiri Sejak Lama” oleh Ghafara Difa Harashta, “Dibawah Fly Over” oleh Yudhistira Tegar Hermawan, dan “Pohaci” oleh Sri Sulistiyani terpilih sebagai sutradara dan film dengan cerita terbaik.
Ghafara, nisalnya, menceritakan tentang sebuah wartel yang mengingatkan dia tentang perubahan komunikasi zaman dulu. Ketika masih kecil, ia sering menggunakan wartel untuk menelepon agar ibunya menjemputnya dari sekolah.
“Semua sibuk melangkah ke depan, tetapi mereka lupa pernah berada dimana dan suasana apa yang pernah dirasakan,” ujarnya, menanggapi perkembangan teknologi saat ini yang membuat masyarakat cenderung lebih individualis.
Pacu kreativitas
Weitarsa menyebutkan, pembuatan film dokumenter menggunakan kacamata diharapkan dapat memacu kreatifitas anak bangsa dan dunia perfilman. Proyek film dokumenter ini pun dibuat guna mendukung pemerintah dalam mengembangkan sektor industri kreatif.
Nia menambahkan, konsep proyek pembuatan film mini dokumenter ini dapat mengajak anak-anak muda untuk secara jujur dan kritis menyampaikan apa yang terjadi di sekitar mereka dan apa yang mereka alami dari sudut pandang masing-masing.
Menurut Sri, salah satu peserta, film dokumenter merekam kejadian yang nyata yang tidak dapat dipalsukan. “Film dokumenter juga dapat menginspirasi kita untuk menjadi lebih baik,” ujarnya.