Donald Trump benar-benar memenuhi semua janji kampanyenya, terutama guna menjadikan America first. Trump mulai menerapkan berbagai kebijakan ekonomi yang dianggap membawa kembali kejayaan Amerika Serikat (AS), termasuk melakukan proteksi habis-habisan. Ekonomi AS yang sangat terbuka terhadap investasi dan perdagangan internasional, dianggap telah merugikan banyak industri dalam negeri AS.
Karena itu, Trump menerapkan tarif impor cukup tinggi, seperti 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium. Baja dan aluminium dibutuhkan untuk industri alat transportasi serta berbagai proyek konstruksi dan infrastruktur. Trump akan memberikan berbagai insentif fiskal terhadap industri strategis AS sehingga impor berkurang.
Namun, negara mitra dagang AS pasti tidak akan diam. Mereka akan melakukan retaliasi atau tindakan balasan. Kanada telah mengancam akan menaikkan tarif produk impor dari olahan baja, seperti sepeda motor, perahu motor, mesin fotokopi, dan sebagainya. Kanada, merupakan pemasok terbesar baja dan alumunium bagi AS, diikuti Brasil, Korea Selatan, Rusia, Meksiko, Jepang, Jerman, China, Rusia, dan Uni Emirat Arab. Bahkan mitra dagang AS juga dapat mengenakan tarif bea masuk terhadap produk-produk ekspor AS seperti produk olahan hasil pertanian.
Artinya, jika semangat proteksionisme berlebihan benar-benar merebak, konsep efisiensi akan luntur. Volume perdagangan internasional akan merosot karena proteksi AS tidak hanya merugikan ekspor negara produsen baja dan aluminium saja. Potensi penurunan produksi baja dan alumuniun berarti juga berdampak pada penurunan penggunaan energi, batu bara, serta bahan baku baja dan alumunium. Permintaan dan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 bisa melambat. Indikasi ini mulai terlihat dari tren penurunan harga minyak mentah, yang berpotensi merembet kepada harga komoditas lain.
Jika itu terjadi, dampak terhadap neraca perdagangan Indonesia sangat signifikan. Dampak langsung proteksi AS ke produsen baja dan alumunium Indonesia memang kecil. Pada 2016, ekspor besi baja Indonesia ke AS hanya 43,7 juta dollar AS dan aluminium 116.000 dollar AS. Namun, kinerja ekspor Indonesia memiliki ketergantungan dengan harga komoditas.
Ekspor Indonesia terancam jika harga komoditas jatuh lagi. Akibat proteksi pasar AS, China hampir dipastikan akan mencari pelampung dengan menggeser ekspor bajanya ke Asia.
Apalagi, pada 2017 produksi baja China mencapai 831,7 juta ton, tumbuh 5,6 persen. Indonesia kesulitan menerapkan kenaikan tarif baja impor. Kebutuhan baja pada tahun 2018 diperkirakan mencapai 14,5 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya 8 juta ton.
Sementara, berbagai proyek infrastruktur harus dikebut pada 2018, sebelum memasuki pertarungan politik 2019. Jika baja China membanjiri pasar Indonesia, besar kemungkinan 8 juta ton baja dalam negeri berisiko tersisih. Apalagi jika semangat proteksi juga akan menjalar ke produk-produk di luar baja dan alumunium.
Neraca perdagangan
Ancaman tekanan defisit neraca perdagangan Indonesia semakin terbuka. Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2018 defisit 670 juta dollar AS. Jika mengacu profil lima produk ekspor nonmigas terbesar Indonesia selama 2017, di luar minyak kelapa sawit mentah (CPO), semua memiliki ketergantungan bahan baku impor yang sangat besar. Sebagai contoh, nilai total ekpor mesin hanya mencapai 14,32 miliar dollar AS. Sementara impor mesin dan peralatan mekanik mencapai 21,78 miliar dollar AS. Ekspor kendaraan dan bagiannya 6,84 miliar, tetapi impor 6,69 miliar dollar AS. Industri kendaraan di Indonesia kemungkinan hanya menjadi jasa perakit kendaraan yang memiliki nilai tambah rendah.
Demikian juga kejayaan ekspor produk tekstil telah bergeser ke industri pakaian jadi. Pertumbuhan impor produk tekstil semakin meningkat.
Impor bahan baku untuk industri alas kaki (kulit) dan industri makanan telah mencapai hampir 70 persen. Jika melihat komposisi impor Indonesia, seolah memang masih didominasi oleh bahan baku/penolong dan barang modal. Persoalannya, penciptaan nilai tambah pada industri yang berbahan baku impor itu sangat rendah. Apalagi, ekonomi terbebani biaya tinggi sehingga produk manufaktur tidak berdaya saing di pasar global.
Jika berbagai hambatan perdagangan semakin masif, neraca perdagangan Indonesia terancam semakin babak belur. Indonesia hanya mengandalkan kemampuan ekspor komoditas yang permintaannya cenderung menurun. Berbagai hambatan nontarif sering digunakan untuk menghambat ekspor andalan Indonesia, baik CPO, kertas, maupun biodiesel. Sementara, konsekuensi berbagai kesepakatan perdagangan bebas (FTA) adalah berbagai produk impor bebas masuk dengan bea masuk 0 persen. Dengan struktur biaya barang impor yang lebih efisisen dan tak ada hambatan perdagangan, produk domestik sulit bersaing dengan barang impor.
Karena itu, upaya hilirisasi industri berbasis komoditas unggulan Indonesia mestinya tidak hanya menjadi wacana.
Selain promosi ekspor pada negara tujuan ekspor nontradisonal, harus segera ada upaya yang serius untuk substitusi barnag impor. Kebijakan proteksi baja dan alumunium AS tersebut semestinya justru menjadi inspirasi dan momentum bagi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk meniru kebijakan AS untuk fokus mengurus mother industry ini. Tak kalah penting adalah upaya menurunkan ekonomi berbiaya tinggi yang menjadi syarat mutlak untuk segera dilakukan. Semua pemangku kepentingan harus bersama-sama berkontribusi mendorong percepatan transformasi struktural.
Dengan demikian, Indonesia akan terhindar dari dampak ancaman krisis perdagangan. Neraca perdagangan dan ekonomi Indonesia masih sangat berpeluang untuk diselamatkan, asal semua memiliki visi yang sama Indonesia first.