Baru saja Amerika Serikat (AS) memulai perang dagang dengan menaikkan bea masuk baja dan aluminium. Bukan tidak mungkin, AS di era kepemimpinan Donald Trump akan menaikkan bea masuk produk-produk lain kepada negara-negara yang menyebabkan neraca perdagangan AS negatif.
Tindakan itu akan memicu negara mitra dagang AS menerapkan strategi tit-for-tat atau saling balas. Tindakan itu juga akan ditiru negara lain untuk melindungi industri dalam negeri dan menekan defisit neraca perdagangan. China meresponsnya dengan mengambil tindakan yang diperlukan. Uni Eropa (UE) sudah memulai menyelidiki produk-produk AS yang menyebabkan ketimpangan neraca perdagangannya dengan AS. Bahkan, UE siap melaporkan AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Perang dagang inilah yang dikhawatirkan WTO. Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo telah meminta negara-negara anggota WTO mencegah efek domino pertama yang muncul dari perang dagang itu. Azevedo juga memperingatkan adanya risiko nyata yang akan memicu eskalasi hambatan dan resesi perdagangan global secara mendalam.
Tantangan ekonomi global tidak hanya soal itu. Keuangan global pun diproyeksikan akan semakin ketat. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Indonesia (BI) menyebutkan, tahun ini merupakan akhir dari era suku bunga rendah.
Bank Sentral AS, The Fed, berencana akan menaikkan suku bunga acuan (FFR) sebanyak empat kali pada tahun ini.
Hal itu akan diikuti pula oleh sejumlah bank sentral di negara-negara maju dan berkembang. Dalam kunjungannya ke Indonesia, Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde mengatakan, lanskap perekonomian global telah bergeser dan berubah. Kendati pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini tumbuh 3,9 persen, tetap ada tantantangan yang menyertainya. Volatilitas di pasar keuangan semakin meningkat dan perdagangan semakin mengetat. Revolusi digital, seperti teknologi digital, robotika, dan kecerdasan buatan berkembang pesat. Lagarde menegaskan, kalau ketiga hal itu tidak diantisipasi, akan terjadi gangguan pada berbagai sektor perekonomian dan menjadi penghambat pertumbuhan.
Revolusi digital telah mengubah pola kerja dan struktur ekonomi. Mengutip penelitian McKinsey, Lagarde menyebutkan, sekitar 60 persen pekerjaan akan segera tergantikan dengan mesin atau otomatisasi. Kongres Jasa Layanan Finansial Asia 2018 pada 1-3 Maret di Singapura juga meletakkan pergeseran lanskap global itu sebagai tantangan industri jasa keuangan. Fokus utama kongres itu adalah akselerasi perkembangan teknologi informasi akan membawa dunia semakin terbuka. Mereka yang tidak terbuka terhadap inovasi teknologi informasi, akan semakin tertaih dan akhirnya tertinggal.
Di satu sisi, dunia semakin mengetat. Di sisi lain, dunia semakin terbuka.
Keduanya sama-sama membawa efek domino. Hambatan perdagangan akan berdampak pada pertumbuhan ekspor. Apabila ekspor melambat, industri domestik berbasis ekspor dan cadangan devisa akan turut melambat. Dampaknya pada sektor industri jasa keuangan, permintaan kredit, baik kredit modal kerja, kredit ekspor-impor, maupun kredit investasi akan terdampak.
Dalam Dua tahun terakhir ini, industri jasa keuangan terutama perbankan, memasuki tahun yang berat. Permintaan kredit turun sehingga kredit tumbuh lambat. Pada 2017, kredit hanya tumbuh 8,1 persen atau meleset dari Rencana Bisnis Bank sebesar 11,8 persen. Pada tahun ini, BI menargetkan kredit tumbuh 10-12 persen.
Di sisi lain, perbankan tengah bertransformasi menuju perbankan digital. Biaya investasi yang digulirkan cukup besar. IDC mencatat, rata-rata nilai investasi pengembangan teknologi digital perusahaan industri jasa keuangan pada 2017 sebesar 22,5 persen dari total pengeluaran. Hingga 2020 nanti, biaya pengeluaran untuk mengembangkan sektor tersebut akan meningkat menjadi 26,5 persen. Inovasi yang dilakukan itu antara lain pengembangan sistem pembayaran digital, layanan nasabah berbasis digital, big data, robo-advisor dan chatbot, serta sistem Application Programming Interface (APIs). Di Indonesia, total pengeluaran pengembangan teknologi digital itu diperkirakan mencapai Rp 433 triliun.
Perang dagang, kenaikan suku bunga acuan, dan teknologi digital akan mewarnai bisnis perbankan tahun ini. Efeknya sudah mulai terasa pada awal tahun. Rupiah melemah terhadap dollar AS, penurunan suku bunga kredit semakin lambat, dan tekfin semakin tumbuh pesat. Stabilitas ekonomi makro dan keuangan domestik perlu dijaga. Konsumsi rumah tangga dan serapan produk industri domestik juga perlu dilakukan. Ekspor, sebagai salah satu penopang devisa negara, perlu terus ditingkatkan melalui membuka pasar baru.