Menimbang Proteksi dan Intervensi Negara
Semangat nasionalisme dalam konteks ekonomi kerap mewujud sebagai sikap anti-pasar, proteksi terhadap kepentingan domestik, serta menguatnya intervensi negara. Nasionalisme pun diharapkan jadi instrumen perekat di tengah kesenjangan ekonomi yang menganga lebar.
Globalisasi dan mekanisme pasar liberal telah mendatangkan kekayaan lebih berlimpah dari masa-masa sebelumnya. Seiring dengan itu, dunia juga menyaksikan kesenjangan kemakmuran melebar. World Inequality Report 2018, terbitan World Inequality Lab, akhir tahun lalu, mencatat, sejak 1980 kesenjangan pendapatan meningkat tajam di Amerika Utara dan Asia, bertambah secara moderat di Eropa, dan stabil pada tingkat sangat tinggi di Timur Tengah, Sub-Sahara Afrika, dan Brasil.
Indonesia tak luput dari fenomena kesenjangan itu. Data Credit Suisse (2017) menggambarkan, 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 45,4 persen aset kekayaan nasional. Meski begitu, rasio gini yang menunjukkan kesenjangan pendapatan menurun dari 0,414 pada Maret 2014 menjadi 0,393 pada Maret 2017.
Masalahnya, konsentrasi kekayaan pada sebagian kecil penduduk justru dikhawatirkan tidak sepenuhnya terungkap melalui indikator seperti rasio gini dan pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB). David Pilling, penulis buku The Growth Delusion: Wealth, Poverty, and The Well-Being of Nations, seperti dikutip The Economist (27/1/2018), menjelaskan, salah satu kelemahan konsep PDB
adalah konsep itu hanya menunjukkan angka rata-rata dan agregat. Kesenjangan pun tersembunyi dalam metode penghitungan itu.
Kontradiksi yang ditimbulkan globalisasi neoliberal diyakini mendorong bertumbuhnya nasionalisme. Dalam perekonomian, konsep nasionalisme secara sederhana kerap diartikan sebagai kebijakan yang tidak pro-pasar. Pandangan lain memaknai nasionalisme ekonomi sebagai kebijakan yang memberi kontrol lebih besar pada negara dalam bidang perekonomian.
Prinsip nasionalisme ini juga dapat mewujud dalam intervensi negara secara strategis, antara lain tampak dalam upaya membangun keuntungan kompetitif pada industri bernilai tambah tinggi dan ketersediaan layanan publik.
Sejak akhir tahun 2000-an, kebijakan ekonomi Indonesia dinilai lebih berorientasi nasionalis. Menurut Global Trade Alert, pada periode 2009-2017, Indonesia membuat lebih dari 300 kebijakan perdagangan yang tidak ramah serta 146 kebijakan
perdagangan yang dianggap liberal.
Bentuk orientasi nasionalis ini disebut paling kentara di sektor pertambangan. Pemerintah Indonesia, misalnya, melakukan renegosiasi kontrak dengan perusahaan tambang asing dan mengharuskan divestasi saham. Pemerintah juga melarang ekspor bijih logam sehingga perusahaan tambang harus membangun smelter.
Ditumpangi elite
Pasca-liberalisasi ekonomi yang diarahkan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1997-2003, beberapa faktor diidentifikasi membuat perekonomian Indonesia kembali berorientasi nasionalis. Seperti juga di sejumlah negara lain, di Indonesia isu kesenjangan dipandang sebagai buah reformasi ekonomi berorientasi pasar.
Hal ini melatari menguatnya desakan masyarakat sipil dan mobilisasi politik untuk mendorong kebijakan ekonomi ke arah lebih nasionalis. Janji dan slogan berbau nasionalis, termasuk dalam bidang ekonomi, menjadi pendongkrak popularitas bagi elite politik di kancah pemilihan anggota legislatif, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan presiden.
Namun, berkembangnya orientasi nasionalis juga kerap ditumpangi kepentingan elite politik-bisnis. Elite bisnis yang memiliki akses pada pemegang kekuasaan politik, atau sebaliknya, kerap jadi promotor skema rente. Selalu lebih mudah mengantongi keuntungan dalam lingkungan terproteksi dan tidak kompetitif.
Di sisi lain, tumbuh kesadaran Indonesia perlu mengembangkan ekonomi yang tidak sekadar berbasis ekspor komoditas sumber daya alam. Selain itu, tuntutan berorientasi nasionalis juga meningkat seiring dengan bertumbuhnya kapasitas modal, keahlian, dan kapasitas pelaku usaha lokal atau nasional.
Menilik sejumlah faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme ekonomi di Indonesia mempunyai dasar politik solid. Terlebih lagi, prinsip ekonomi memang tidak pernah berjalan terpisah dari konteks politik.
Indonesia juga berhadapan dengan mitra dagang di kancah internasional yang mengalami penguatan tren nasionalisme di negara mereka. Sebagai contoh, perbenturan kepentingan Indonesia dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam negosiasi perdagangan minyak kelapa sawit.
Menghadapi penguatan tren proteksionisme berbalut sikap nasionalis di sejumlah negara mitra, apakah Indonesia juga akan menerapkan kebijakan serupa? Jika Indonesia ingin mengambil langkah proteksionis, perlu dipertimbangkan pada sektor apa Indonesia punya posisi tawar kuat. Selain itu, siapa pihak yang benar-benar diuntungkan dengan proteksi itu.
Kualitas intervensi
Realitas menunjukkan, intervensi negara yang menciptakan proteksi atau menginterupsi mekanisme pasar bebas selalu dipakai dalam pola keseimbangan kuasa yang terus bergerak dinamis. Ketika AS masih menjadi promotor globalisasi dan pasar bebas pun, negeri itu konsisten menggunakan kuasa untuk memproteksi sektor pangannya.
Intervensi negara juga menjadi instrumen sangat penting dalam pembangunan ekonomi Singapura yang dikenal liberal dan menjunjung tinggi pasar bebas. WG Huff dalam buku The Economic Growth of Singapore: Trade and Development in The Twentieth Century (Cambridge University Press, 1994) mengatakan, pengalaman Singapura membuktikan kediktatoran bahkan dapat digunakan untuk membuat sistem ”pasar bebas” bekerja.
Intervensi yang sangat besar diyakini berpotensi mengarah pada kegagalan pemerintah. Namun, kasus Singapura menunjukkan, kualitas intervensi lebih menjadi penentu keberhasilan. Kualitas ini, antara lain, ditentukan oleh kepastian kebijakan tidak dilatari kepentingan kelompok tertentu. Selain itu, kebijakan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh seluas mungkin masyarakat. Kebijakan perumahan publik dan transportasi umum, misalnya, menjadi wujud intervensi pemerintah di Singapura.
Nasionalisme—dalam beragam bentuknya—perlu diarahkan untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Bukan sekadar kamuflase untuk mengaburkan kesenjangan.