JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi Indonesia sebagai eksportir utama rumput laut dunia belum diperkuat dengan diversifikasi produk. Lebih dari 80 persen produk ekspor rumput laut masih berupa bahan baku kering sehingga minim nilai tambah.
Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), angka sementara produksi rumput laut nasional tahun 2017 sebesar 10,8 juta ton untuk bahan baku basah atau setara 1,08 juta ton bahan baku kering. Jumlah itu menurun jika dibandingkan produksi rumput laut basah tahun 2016, yakni 11,05 juta ton dan 2015 sebesar 11,26 juta ton.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto di Jakarta, Selasa (13/3), mengemukakan, pengembangan usaha rumput laut masih dihadapkan dengan berbagai tantangan. Masalah yang dihadapi antara lain minimnya nilai tambah produk dan investasi berbasis rumput laut, distribusi produk, persaingan antarprodusen, dan persyaratan pasar global.
"Indonesia saat ini jadi negara net eksportir nomor 1 dunia khusus untuk jenis Eucheuma cottoni dan Gracilaria. Namun, lebih dari 80 persen ekspor rumput laut kita masih didominasi bahan baku kering. Nilai tambah ekonomi yang dirasakan masih minim," ujar Slamet.
Jika diolah, bahan mentah rumput laut bisa menghasilkan antara lain semi-refine karaginan, dan karaginan (hasil ekstraksi rumput laut). Dari karaginan, bisa dihasilkan sedikitnya 500 produk turunan rumput laut, seperti produk kosmetik, makanan, minuman, kesehatan, dan pupuk yang nilai tambahnya berkali lipat dari bahan mentah.
Selama ini, mata rantai distribusi rumput laut belum efisien. Sentra produksi sebagian besar berada di Indonesia bagian timur, sedangkan pengolahan didominasi di Jawa. Sementara itu, pintu ekspor rumput laut tersebar di wilayah barat Indonesia, jauh dari sentra produksi.
Sinergi hulu-hilir
Slamet mengatakan, pemerintah tengah mengupayakan industrialisasi rumput laut nasional agar produk ini makin bernilai tambah dan lebih berdaya saing. Upaya yang dilakukan antara lain mendorong pembangunan industri pengolahan ke sentra-sentra produksi rumput laut, baik yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta. Pembangunan industri pengolahan di sentra produksi juga diharapkan memutus rantai panjang dari hulu ke hilir.
"Dengan peningkatan nilai tambah, Indonesia tidak perlu bergantung pada ekspor bahan mentah," katanya.
Di sektor hulu, pengembangan kawasan budidaya rumput laut berbasis kluster, dan pengembangan kebun bibit rumput laut hasil kultur jaringan dilakukan untuk mendorong kualitas produk. Di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, misalnya digunakan bibit rumput laut cottonii strain Maumere hasil kultur jaringan.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia Safari Azis mengingatkan pemerintah untuk memastikan rantai produksi dari hulu hingga hilir kondusif bagi dunia usaha. Apalagi di era perdagangan bebas saat ini telah berlaku sistem rantai pasok dan rantai nilai global.
Azis berpendapat, industrialisasi hulu-hilir selama ini terkendala biaya logistik yang mahal. Dicontohkan, biaya angkut rumput laut dari Tual ke Surabaya mencapai Rp 1.350 per kg, sedangkan ongkos angkut dari Surabaya ke Shanghai di China hanya Rp 350 per kg. Ongkos angkut yang tinggi kerap berujung menekan harga bahan baku di tingkat pembudidaya.
"Demi (peningkatan) nilai tambah dan industrialisasi, jangan sampai membuat kebijakan yang merugikan pembudidaya dan harga jatuh. Sektor hilir silakan didorong, tetapi jangan sampai sektor hulu tertekan," kata Azis. (LKT)