Kinerja Emiten Tetap Positif
Indeks Harga Saham Gabungan masih melemah. Namun, sejauh ini kinerja emiten masih tetap positif.
JAKARTA, KOMPAS - Pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak Februari lalu diperkirakan tidak berlangsung lama. Pelemahan IHSG terjadi karena persepsi perekonomian dunia, sementara kinerja emiten justru menunjukkan sebaliknya.
IHSG pada Kamis (15/3) ditutup melemah 60,72 poin atau 0,95 persen ke level 6.321,9 setelah bergerak di level 6.316- 6.372. Volume transaksi mencapai 12,4 miliar saham dengan nilai Rp 8,463 triliun. Pada 19 Februari, IHSG menyentuh 6.689, tetapi kemudian melemah. ”Pelemahan IHSG hanya persepsi sesaat akibat ketidakpastian ekonomi dunia, terutama Amerika Serikat. Di Internal, kinerja keuangan emiten bagus,” kata Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio di Jakarta, Kamis (15/3).
Tito mengatakan, pertumbuhan laba 84 emiten yang telah merilis kinerja keuangan rata-rata naik 22 persen. Pertumbuhan kapitalisasi pasar tahun ini ditargetkan 20-25 persen. Hingga 13 Februari 2018, 70 dari 566 emiten atau yang mewakili 48 persen kapitalisasi pasar telah melaporkan kinerja keuangan. Untuk menarik investor domestik, BEI membangun bursa efek daerah, mempercepat transaksi jual beli saham di pasar modal dari tiga hari (T+3) menjadi T+2, dan membuka sejumlah galeri investasi di berbagai daerah.
Analis Recapital Asset Management Kiswoyo Adi Joe mengatakan, pelepasan saham oleh investor asing turut memicu penurunan IHSG. Saat ini investor asing menghitung aset untuk mengantisipasi kebijakan The Fed. Pada Kamis, investor asing membukukan penjualan bersih Rp 635 miliar. Penjualan saham ini justru bisa menjadi daya tarik bagi investor domestik untuk membelinya. Menurut Kiswoyo, nilai tukar rupiah akan menguat ke level Rp 13.500 setelah The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga acuan. Nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang diterbitkan BI pada Kamis tercatat Rp 13.748 per dollar AS, melemah dari hari sebelumnya Rp 13.739 per dollar AS.
Utang luar negeri
Kendati utang luar negeri Indonesia terus tumbuh, pemerintah dan Bank Indonesia menilai rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) terjaga pada level aman. Tingkat risiko utang luar negeri yang paling besar muncul dari sektor swasta nonbank yang tidak berafiliasi. Namun, persentasenya dari total utang luar negeri Indonesia sangat kecil.
BI mencatat, utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Januari 2018 meningkat 10,3 persen menjadi 357,5 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar rupiah sebesar Rp 13.748 per dollar AS pada Kamis (15/3), ULN Indonesia sekitar Rp 4.914 triliun. Dari jumlah itu, ULN pemerintah dan bank sentral sebanyak 183,4 miliar dollar AS atau setara Rp 2.521 triliun, sedangkan utang swasta 174,2 miliar dollar AS atau setara Rp 2.394 triliun.
Direktur Strategi dan dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Schneider CH Siahaan mengatakan, ULN pemerintah pada Januari 2018 sebesar 180,2 miliar dollar AS. ULN itu terdiri dari ULN PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) 55,7 miliar dollar AS, surat berharga negara (SBN) valuta asing 59,7 miliar dollar AS, dan SBN domestik 64,8 miliar dollar AS.
Saat ini, rasio utang terhadap PDB per akhir Januari 2018 sebesar 29,1 persen. Rasio itu masih di bawah batas 60 persen yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB itu relatif kecil dibandingkan sejumlah negara. Rasio utang terhadap PDB Vietnam 63,4 persen, Thailand 41,8 persen, Malaysia 52,7 persen, dan Brasil 81,2 persen.
Direktur Departemen Statistik BI Tutuk SH Cahyono mengemukakan, ULN Indonesia didominasi utang jangka panjang sebesar 85,9 persen dari total ULN. Utang jangka panjang itu meningkat menjadi 9 persen pada Januari 2018.
Adapun pertumbuhan utang jangka pendek melambat dari 19,8 persen pada Desember 2017 menjadi 18,3 persen pada Januari 2018. Hal itu menunjukkan struktur ULN Indonesia tetap sehat, karena didominasi utang jangka panjang.