Kaisar Yunani Darius I (522-486 SM) merupakan pencetus pengiriman sinyal atau pesan asap dalam sistem pemerintahannya. Pesan yang dikirim tidak hanya ancaman bahaya musuh, tetapi juga ancaman terhadap ekonomi. Darius I menggunakan pola komunikasi kode asap dari titik tertinggi di daerahnya kepada provinsi-provinsi di bawah kekuasaannya yang tersebar dari sungai Indus hingga Danube.
Sinyal asap itu menggantikan model lama pengiriman pesan melalui kurir. Hasil penelitian menunjukkan, sinyal asap mampu mengirimkan pesan 30 kali lebih cepat daripada menggunakan kurir yang berlari secara maraton atau estafet. Di China, pasca tembok besar China dibangun, pesan dikirim secara berantai. Caranya dengan menempatkan orang di fenghuotai, menara suar tembok besar China. Mereka dapat mengirimkan pesan sejauh 480 kilometer hanya dalam waktu beberapa jam, baik melalui kurir maupun asap.
Sejak tahun lalu, dunia telah mengirim sinyal gejolak perekonomian kepada Indonesia. Era suku bunga murah diperkirakan akan berakhir dan perang dagang mulai dipraktikkan sejumlah negara. Awal tahun ini, sinyal itu mulai nyata berdampak pada perekonomian Indonesia. Rupiah melemah sejak akhir Februari lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga melemah meski kinerja emiten masih positif. Dalam dua bulan terakhir ini, Januari dan Februari, neraca perdagangan Indonesia juga mengalami defisit.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Februari mengalami defisit 872 juta dollar AS. Salah satu penyebabnya adalah penurunan ekspor produk utama Indonesia, terutama minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk. Ekspor CPO ke AS dan India turun karena ada hambatan perdagangan. Pada Februari 2018, nilai ekspor produk turunan CPO ke AS turun 59,99 persen dan ekspor CPO ke India turun 34,55 persen.
AS berencana mengenakan bea masuk imbalan biodiesel karena Indonesia diduga melakukan dumping. Adapun India, menaikkan bea masuk CPO dan produk turunannya dari 7 persen menjadi 44 persen.
Ke depan, dampak penurunan ekspor CPO diperkirakan nisa terjadi di Uni Eropa (UE) dan Norwegia. Parlemen UE sepakat menekan hingga maksimal 7 persen penggunaan sawit untuk sumber energi terbarukan transportasi sampai 2030. Parlemen Norwegia meminta Pemerintah Norwegia melarang pengadaan pemerintah yang berupa produk bahan bakar nabati CPO dan produk turunannya.
Berkurangnya nilai ekspor akan mengurangi devisa negara. Selama ini, devisa digunakan untuk membayar utang luar negeri (ULN), stabilisasi nilai tukar rupiah, dan menopang impor. Per Januari 2018, ULN Indonesia tercatat sebesar 357,5 miliar dollar AS, meningkat 10,3 persen. Dengan nilai tukar rupiah Rp 13.765 per dollar AS pada Jumat (16/3), ULN Indonesia sekitar Rp 4.920 triliun. ULN pemerintah dan bank sentral sebanyak 183,4 miliar dollar AS, sedangkan utang swasta 174,2 miliar dollar AS.
Pemerintah dan BI menilai rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) masih aman. Rata-rata rasio utang terhadap PDB Indonesia pada 2006-2016 stabil di kisaran 34 persen. Rata-rata rasio tersebut lebih baik dari rata-rata sejumlah negara yang mencapai 42,8 persen. Rasio itu juga masih di bawah batas 60 persen yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Meskipun fundamen ekonomi kuat, Indonesia perlu mengelola ketidakpastian global. Stabilitas nilai tukar rupiah tetap perlu dijaga. Eksportir dan importir bisa mulai mengurangi penggunaan dollar AS, terutama dengan memanfaatkan skema mata uang lokal dalam perdagangan dengan Thailand dan Malaysia. Pemerintah tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga sektor penyumbang devisa, seperti pariwisata dan perdagangan luar negeri. Peningkatan ekspor tidak cukup hanya membuka pasar baru, tetapi perlu diikuti pengembangan industri manufaktur berbasis ekspor yang ditopang dengan investasi.
Pesan sinyal dunia telah sampai ke Indonesia. Apakah ke depan dampaknya akan semakin menguat? Hal itu tergantung respons kebijakan dan langkah konkret para pemangku terkait, termasuk di dalamnya para pelaku usaha.