JAKARTA, KOMPAS — Strategi di sisi permintaan mutlak diperlukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi tahun ini. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi masih akan terjebak pada kisaran 5 persen sebagaimana terjadi selama dua tahun terakhir.
Guru Besar Tamu Universitas Nasional Australia Chatib Basri, Senin (19/3), di Jakarta, menyatakan, pemerintah telah banyak mengerjakan sisi pasokan. Hal itu di antaranya berupa membangun infrastruktur, menerbitkan paket kebijakan ekonomi, dan melaksanakan deregulasi.
Agenda tersebut, menurut Chatib, sangat penting dan harus dilakukan. Namun, dampaknya baru akan terasa dalam jangka menengah-panjang. Adapun faktor yang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek adalah kebijakan di sisi permintaan.
”Untuk itu, program jangka menengah-panjang harus dipadukan dengan kebijakan jangka pendek, yakni di sisi permintaan. Produsen tidak mungkin ekspansi jika permintaan belum naik. Sekalipun ada insentif,” kata Chatib.
Pada akhir Maret, pemerintah akan mengumumkan revisi tiga insentif dan menerbitkan satu insentif baru. Kebijakan ini dari sisi pasokan.
Revisi tiga aturan lama itu meliputi pembebasan pajak selama periode tertentu (tax holiday), pengurangan pajak (tax allowance), serta penerapan pajak penghasilan final untuk usaha kecil dan menengah (UKM). Adapun aturan baru yang disiapkan adalah insentif pajak untuk perusahaan yang menyelenggarakan riset dan pengembangan serta pelatihan tenaga kerja.
Kepercayaan
Chatib mengapresiasi rencana kebijakan tersebut. Namun, ia mengingatkan, strategi di sisi permintaan belum gencar dilakukan pemerintah. Salah satu yang dilakukan adalah program menyasar penduduk miskin, seperti Program Keluarga Harapan dan padat karya tunai.
Sementara itu, untuk penduduk kelompok menengah atas, lanjut Chatib, belum tampak. Kelompok ini juga penting karena porsinya lebih kurang 80 persen dari total konsumsi rumah tangga nasional. Kelompok ini juga sensitif terhadap isu politik dan pajak. Oleh sebab itu, pemerintah harus melakukan komunikasi yang baik sekaligus meyakinkan agar timbul kepercayaan untuk berbelanja atau investasi.
”Untuk saat ini, moneter sudah tidak bisa lagi. Jadi tidak bisa tidak, harus dari kebijakan fiskal, yakni mendorong percepatan realisasi belanja APBN,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono berpendapat, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen pada tahun ini, pemerintah harus disiplin menyisir penerimaan pajak dan merealisasikan belanja sesuai target. Basis data pajak pasca-pengampunan pajak bisa menjadi modal positif.
Tahun ini, menurut Tony, pemerintah tampak berusaha keras menurunkan defisit APBN. Biasanya defisit APBN dijaga di sekitar 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, tahun ini target defisit hanya 2,19 persen terhadap PDB.
”Meningkatnya utang luar negeri yang kini mencapai 357,5 miliar dollar AS atau 35 persen terhadap PDB barangkali telah memaksa pemerintah untuk lebih disiplin dalam menjaga defisit fiskal. Jika tidak disiplin, ujung-ujungnya hanya akan menyebabkan kenaikan utang luar negeri,” kata Tony.
Defisit APBN 2018 sebesar Rp 48,9 triliun lebih kecil ketimbang defisit Rp 86,7 triliun pada 2016 dan Rp 54,7 triliun pada 2017. Hal ini berkat penerimaan negara yang tumbuh 17,1 persen. (LAS)