Produksi Garam Diperkuat
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan produksi garam di dalam negeri untuk keperluan industri antara lain diupayakan oleh PT Garam serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. PT Garam menargetkan produksi garam untuk kebutuhan industri tahun ini sebesar 250.000 ton.
Upaya memproduksi garam industri ini diharapkan diikuti pula dengan peningkatan penyerapan garam oleh industri.
Direktur Utama PT Garam Budi Sasongko (bukan R Achmad Boediono seperti ditulis pada Kompas (20/3) mengatakan, pihaknya menyiapkan lahan untuk menghasilkan garam industri seluas 5.000 hektar (ha). Sekitar 70 persen dari lahan itu atau 3.500 ha siap dikelola untuk berproduksi tahun ini. Dalam cuaca normal, masa produksi garam sekitar 7 bulan per tahun.
”Tahun ini, target produksi garam untuk kebutuhan industri 250.000 ton, sedangkan garam untuk kebutuhan konsumsi 100.000 ton,” kata Budi saat dihubungi di Jakarta, Selasa kemarin.
Adapun untuk garam konsumsi, BUMN Garam itu berencana menggarap lahan seluas 1.500 ha. Produksi garam untuk konsumsi digarap di Jawa dan Madura dengan masa produksi 4-6 bulan per tahun.
Budi mengatakan, sekitar 50 persen dari produksi garam untuk industri akan digunakan sendiri oleh PT Garam, selebihnya dipasok ke industri. Ia berharap hasil produksi garam nasional bisa terserap oleh industri, sekalipun pemerintah membuka keran impor garam industri.
PT Garam tahun ini menggarap perluasan lahan garam di Kelurahan Bipolo, Kecamatan Sulamu, dan Kelurahan Merdeka, Kecamatan Kupang Timur di Nusa Tenggara Timur. Jumlah itu memperluas tambak PT Garam di Bipolo seluas 281 ha. Untuk tahap awal, perluasan tambak garam dilakukan seluas 400 ha dengan jangka waktu pemanfaatan 30 tahun. Perluasan lahan garam ini ditargetkan menghasilkan garam untuk kebutuhan industri.
Untuk lokasi garam industri di kawasan Indonesia timur, masa produksi membutuhkan iklim kering berkisar 6-8 bulan.
Sesuai data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), saat ini terdapat 26.064 ha lahan petambak garam di seluruh Indonesia. Dari luas tersebut, produksi garam maksimal sebesar 2,6 juta ton per tahun.
Untuk mencapai target swasembada garam nasional pada tahun 2020, dibutuhkan produksi garam sedikitnya 4 juta ton. Untuk itu, ekstensifikasi lahan garam terus dilakukan pada lahan potensial dengan melibatkan BUMN Garam, yakni PT Garam, dan perusahaan swasta.
Ekstensifikasi lahan saat ini tengah didorong ke Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Kawasan ini didukung topografi dan cuaca untuk mengejar kualitas garam industri.
Teknologi
Menurut Direktur Jasa Kelautan Direktorat Jenderal Kelautan KKP Mohammad Abduh Nurhidajat, KKP tengah melakukan uji coba teknologi produksi garam dengan metode bestekin di Indramayu, Jawa Barat. Teknologi ini akan diterapkan untuk menghasilkan garam industri.
Kepala Subdirektorat Air Laut, Non-Energi, dan Benda Muatan Kapal Tenggelam KKP Zaki Mahasin mengatakan, uji coba teknologi itu tengah dilakukan pada lahan seluas 2.500 meter persegi. Teknologi dengan biaya Rp 500 juta itu diperkirakan menaikkan produktivitas garam hingga 5 ton per ha. Dengan teknologi ini, dapat dihasilkan garam kualitas industri dengan waktu produksi dipangkas dari 70 hari menjadi 7 jam, mulai dari proses pengambilan air laut hingga panen.
Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia Tony Tanduk mengatakan, selalu ada peluang peningkatan kualitas garam lokal. Faktor yang harus dipertimbangkan antara lain penyusutan, biaya produksi, serta biaya energi untuk meningkatkan kualitas garam tersebut.
Menurut Tony, harga garam impor sekitar Rp 600 per kilogram. ”Sementara harga garam lokal di atas Rp 1.000 per kilogram, bahkan sempat di atas Rp 3.000 per kilogram,” ujarnya.
Biaya produksi garam lokal terhitung lebih tinggi karena kebanyakan lahan tambak hanya seluas 1-2 ha, tidak dikembangkan pada skala keekonomian. ”Skala keekonomian lahan garam sekitar 1.000 ha. Di Australia rata-rata 10.000 ha. Bahkan, di Meksiko ada yang sampai 30.000 ha,” kata Tony. (LKT/CAS)