JAKARTA, KOMPAS--Efektivitas utang pemerintah pusat digugat. Alasannya, penarikan utang selama tiga tahun terakhir agresif. Namun, efektivitasnya terhadap peningkatan produktivitas perekonomian nasional dinilai masih kurang.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, saldo utang pemerintah pusat meningkat Rp 1.333,77 triliun dalam tiga tahun terakhir, dari Rp 2.604,93 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp 3.938,7 triliun per Desember 2017. Saldo utang adalah akumulasi utang dari tahun-tahun sebelumnya yang belum jatuh tempo ditambah dengan penarikan utang baru.
Penambahan nilai utang terutama terjadi karena penarikan utang baru. Selain itu, ada faktor pelemahan rupiah, karena 43 persen dari total utang pemerintah pusat berupa pinjaman dan Surat Berharga Negara dalam denominasi valuta asing.
Peneliti In
stitute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (21/3), mempertanyakan klaim pemerintah bahwa penambahan utang dilakukan untuk membiayai percepatan pembangunan infrastruktur.Sementara, struktur dan proporsi anggaran pemerintah pusat tidak cukup mengonfirmasi hal tersebut.
Pada 2017, porsi terbesar belanja pemerintah pusat adalah belanja pegawai, yakni 26,25 persen. Berikutnya, belanja barang dan pembayaran bunga utang, masing-masing 21,7 persen dan 16,81 persen. Adapun belanja modal atau infrastruktur 15,25 persen.
Heri melanjutkan, dampak utang dalam rangka percepatan agenda pembangunan infrastruktur belum cukup terasa. ”Memang tidak serta merta akan terjadi dalam jangka pendek. Namun, dampak jangka pendek setidaknya menumbuhkan optimisme perekonomian, terutama investasi,” kata Heri.
Faktanya, indeks tendensi bisnis dan survei tentang ekspektasi perekonomian tidak mengalami akselerasi pertumbuhan. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5 persen. ”Semuanya menggambarkan produktivitas utang dalam mendorong perekonomian relatif rendah,” kata Heri.
Produktivitas utang dalam mendorong perekonomian relatif rendah.
Pada kesempatan yang sama, pengajar Universitas Indonesia Jakarta Faisal Basri menyatakan, beban bunga utang Indonesia tergolong tinggi. Tingkat bunga utangnya lebih tinggi dari negara-negara dengan peringkat utang yang sama.
Bahkan, bunga utang pemerintah, lanjut Faisal, lebih tinggi ketimbang bunga utang BUMN. Padahal, risiko utang pemerintah jauh lebih kecil ketimbang risiko utang BUMN. Dengan demikian, bunga utang pemerintah mestinya lebih rendah.
"Di mana-mana di dunia ini, infrastruktur penting. Persoalannya sekarang adalah ketidakcocokan antara jenis infrastruktur yang dibangun dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendorong produktivitas perekonomian nasional,” kata Faisal.
Kesenjangan
Sementara itu, peneliti Megawati Institute, Faisal Rahman, memaparkan, kesenjangan pendapatan ekonomi antara lapisan masyarakat termiskin dan terkaya di Indonesia menghambat pertumbuhan ekonomi. Diperlukan pemetaan komprehensif agar kebijakan pemerintah dalam mempersempit jurang ketimpangan menjadi tepat sasaran.
Menurut Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Maliki, penyebab ketimpangan antara lain terkait kebijakan sektoral, tenaga kerja, pertumbuhan penduduk dan upah, akses pelayanan dasar dan kepemilikan, serta konektivitas. (LAS/KRN)