JAKARTA, KOMPAS-- Tiga kapal asing berbendera Vietnam ditangkap di perairan Indonesia. Mereka mencuri ikan menggunakan alat tangkap pukat harimau ganda.
Tiga kapal itu adalah KM BV 4987 TS dengan bobot kapal 115 gros ton (GT), KM BV 0270 TS berbobot 90 GT, dan KM BV 93739 TS berbobot 110 GT. Secara keseluruhan, di tiga kapal itu ada 24 anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Vietnam.
Kapal-kapal pencuri ikan itu ditangkap kapal pengawas perikanan Hiu 11 di Perairan Natuna, Kepulauan Riau, pada 18 Maret 2018. Ketiga kapal dan seluruh ABK dibawa ke Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Pontianak, Kalimantan Barat. Selanjutnya, meraka akan diproses hukum oleh penyidik pegawai negeri sipil Perikanan.
“Penangkapan dilakukan saat ketiga kapal tersebut sedang menangkap ikan tanpa dilengkapi izin yang sah dari Pemerintah RI, serta menggunakan alat tangkap yang dilarang, yaitu pukat harimau ganda atau pair trawl,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP-KKP Waluyo Abutohir, di Jakarta, Kamis (22/3).
Kapal-kapal tersebut diduga melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 20 miliar.
Berdasarkan data KKP, pada 1 Januari-18 Maret 2018, kapal perikanan ilegal yang ditangkap PSDKP-KKP sebanyak 20 unit. Mereka berbendera Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pelanggaran yang dilakukan kapal ikan Indonesia antara lain karena menangkap ikan tanpa dokumen dan menggunakan alat tangkap yang dilarang.
Menurut Kepala Stasiun PSDKP Pontianak Erik Sosteneas, kapal-kapal itu diperkirakan paling lambat tiba di Pontianak hari Jumat (23/3) ini untuk diperiksa. Jumlah muatan kapal belum bisa ditaksir, karena disinyalir kapal ditangkap saat baru masuk wilayah pengelolaan perikanan RI.
Komitmen
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, menilai kapal-kapal ilegal yang ditangkap sebagian besar berasal dari negara-negara ASEAN. Hal itu mengindikasikan ASEAN tidak berkontribusi signifikan dalam menangani kejahatan pencurian ikan.
"Komitmen negara-negara ASEAN dalam memberantas perikanan ilegal patut dipertanyakan," katanya.
Dengan fakta pelaku perikanan ilegal di Indonesia sebagian besar dari ASEAN, Pemerintah RI diminta mendesak ASEAN untuk mengeluarkan kebijakan perihal komitmen dan kesepakatan bersama kawasan. Tujuannya, menanggulangi perikanan ilegal. "Bentuk kerja sama harus lebih konkrit," ujar Abdi.
Di sisi lain, Abdi juga menyoroti peningkatan kapal ikan Indonesia yang ditangkap karena dugaan praktik ilegal. Kerap terjadi, izin berlayar kapal sudah habis, namun kapal masih di tengah laut.
"Pemilik kapal kurang mengantisipasi persoalan izin," tambah Abdi.
Oleh karena itu, Abdi menyarankan pemerintah untuk lebih banyak menempatkan armada kapal pengawas di zona perairan yang rawan. Dengan segenap instrumen pengawasan yang ada saat ini, diperlukan perhitungan kebutuhan minimal armada pengawas perikanan Indonesia.
"Pemerintah mesti menambah anggaran operasional pengawasan untuk kapal, sumber daya manusia, dan koordinasi, termasuk penanganan kasus agar memberi efek jera terhadap pelaku," ujarnya.
Tahun ini, kapal pengawasan KKP beroperasi 145 hari. Ada juga operasi pengawasan pesawat udara untuk mendukung kapal pengawas.