Dalam rapat Komisi IV DPR bersama Perum Bulog, Selasa (13/3), terungkap bahwa cadangan beras pemerintah terhitung defisit 27.888 ton. Artinya, stok cadangan beras pemerintah telah habis dan pemerintah berutang beras sejumlah itu kepada Bulog, terutama untuk memenuhi kebutuhan intervensi harga melalui operasi pasar. Total stok beras yang tersimpan di gudang Bulog sejumlah 642.612 ton.
Tak hanya membuat miris karena logistik pemerintah rapuh, fakta itu juga membingungkan publik. Sebab, pada beragam kesempatan, Kementerian Pertanian terus berusaha meyakinkan bahwa produksi beras aman dan stok cukup, termasuk dengan menyebarkan foto dan info panen di banyak lokasi. Pada Maret 2018, panen bahkan disebut mencapai puncak, dengan luas 2,25 juta hektar dan perkiraan produksi beras 7,4 juta ton.
Nyatanya, meski cenderung turun, harga beras masih bertahan tinggi. Penyerapan gabah/beras oleh Bulog juga belum signifikan. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat, rata-rata harga beras, Kamis kemarin, Rp 11.900 per kilogram (kg). Sementara Food Station Tjipinang Jaya mencatat harga beras rata-rata di tingkat grosir Rp 10.918 per kg. Dua angka ini jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium yang dipatok pemerintah Rp 9.450-Rp 10.250 per kg.
Tingginya harga tergambar pada seretnya penyerapan beras oleh Bulog. Sampai kemarin, realisasi pengadaan beras dari dalam negeri baru mencapai 145.641 ton, sekitar 5,3 persen dari target pengadaan tahun ini. Padahal, selama ini panen musim rendeng jadi momentum terbaik untuk menyerap gabah/beras petani. Pada musim itu, total pengadaan bisa mencapai 60-65 persen dari target setahun.
Sejauh ini, kekhawatiran bahwa masuknya beras impor akan menekan harga gabah petani belum terbukti di lapangan. Setidaknya harga gabah masih bertahan di atas Rp 4.300 per kg kering panen (GKP). Sebanyak 261.000 ton beras impor yang awalnya hanya akan disimpan di gudang selama musim panen malah disebut-sebut akan dipakai juga untuk meredam harga beras menjelang Ramadhan tahun ini.
Lalu, kenapa panen belum signifikan menekan harga beras? Ada beberapa dugaan. Pertama, hasil panen masih menjadi buruan tengkulak, pengusaha penggilingan, dan pedagang untuk mengisi stok yang kosong. Persaingan itu menjaga harga tetap tinggi. Kedua, harga gabah terdongkrak oleh ketentuan fleksibilitas harga pembelian oleh Bulog sebesar 20 persen di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Selama ini, harga pembelian Bulog menjadi referensi pasar.
Akan tetapi, ada kemungkinan ketiga, panen raya mundur atau produksi padi memang tidak sesuai harapan. Artinya, jika benar panen raya mundur, penurunan harga beras berpeluang terjadi pada puncaknya nanti. Namun, bisa juga harga tidak akan turun signifikan karena produksi tidak sebanyak perkiraan.
Kontradiksi tahun lalu seolah berlanjut. Anomali pada bulan ini, seperti impor atau operasi pasar beras saat masa panen raya padi, juga membingungkan. Hal itu dianggap tak logis atau bertolak belakang. Kebingungan antara lain terwakili oleh ungkapan, ”Katanya surplus produksi, kok, harga konsisten naik, malah akhirnya impor. Katanya panen raya, kok, harga tak turun-turun dan justru menggelar operasi.”
Apakah benar ada yang ”bermain” sehingga harga bertahan tinggi? Situasi tahun lalu memberi kita pelajaran. Tuduhan tanpa bukti kuat tidak memecahkan persoalan, tetapi justru menjerumuskan pelaku usaha pada kebangkrutan. Pemeriksaan, penggerebekan, bahkan penyegelan pabrik, gudang, dan lapak juga menciptakan keresahan dan ketakutan di antara pelaku usaha perberasan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka Jakarta Food Security Summit di Jakarta, Kamis (8/3), mengingatkan, selain mengoptimalkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, cara terbaik mendongkrak produktivitas dan produksi pangan adalah dengan fokus pada peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaku utama. Bukan dengan paksaan atau tekanan. (MUKHAMAD KURNIAWAN)