Kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS dan praktik perdagangan protektif. Bank Indonesia tetap berkomitmen menjaga momentum pemulihan ekonomi domestik.
JAKARTA, KOMPAS - Kendati Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikkan suku bunga acuan (FFR), Bank Indonesia tetap mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate. Tujuannya adalah tetap menjaga momentum pemulihan pertumbuhan ekonomi domestik di tengah peningkatan risiko global.
Pada Rabu waktu setempat, The Fed, menaikkan FFR sebesar 25 basis poin dalam pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC). Dengan kenaikan itu, saat ini FFR berkisar 1,5-1,75 persen. Kendati telah menegaskan FFR hanya naik sebanyak 3 kali pada tahun ini, The Fed tetap mengisyaratkan FFR akan terus naik hingga 2020.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 21-22 Maret mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate 4,25 persen.
Suku bunga deposit facility dan lending facility juga tetap masing-masing sebesar 3,5 persen dan 5 persen. Keputusan itu berlaku efektif sejak 23 Maret 2018.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Yoga Affandi dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (22/3), mengatakan, BI mempertahankan suku bunga acuan untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Selama ini, ruang pelonggaran moneter yang dilakukan sudah cukup mendorong pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengemukakan, ketidakpastian pasar keuangan global menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. Pada Februari 2018, rata-rata harian rupiah melemah sebesar 1,65 persen menjadi 13.603 per dollar AS.
Hal itu terjadi karena pernyataan petinggi The Fed tentang rencana kenaikan FFR yang menyebabkan pembalikan modal asing. Pada Maret, pelemahan rupiah semakin dalam karena memburuknya sentimen pasar terkait dengan kebijakan perdagangan proteksionisme.
”BI akan terus mewaspadai hal ini dengan hadir di pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah sesuai nilai fundamental dan menjaga mekanisme pasar keuangan,” kata dia.
Tekanan mereda
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual mengatakan, pasca The Fed menegaskan tahun ini hanya akan menaikkan FFR tiga kali, kondisi pasar mulai mereda. Arus keluar modal asing dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, juga mulai mereda.
”Indonesia rentan terhadap arus modal asing karena masih mengandalkan Surat Berharga Negara untuk membiayai ekonomi domestik. Apalagi kepemilikan asing terhadap SBN cukup besar, yaitu sekitar 40 persen. Negara-negara sebanding kisarannya 30 persen,” kata dia.
Risiko global juga akan datang dari sektor perdagangan. Perang dagang yang dipicu AS bisa saja direspons negara-negara mitra dagangnya sehingga berdampak pada negara berkembang.
Indonesia perlu mewaspadai dampak tidak langsung kebijakan AS menaikkan bea masuk baja dan aluminium China. Tanpa antisipasi, kedua produk China itu akan membanjiri Indonesia.
”Hambatan perdagangan berpotensi terjadi. Peningkatan ekspor manufaktur bernilai tambah tinggi diperlukan,” ujarnya.
Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde menyatakan, pemulihan ekonomi global berlanjut dengan momentum pertumbuhan yang melibatkan lebih dari 80 persen produk domestik bruto G-20. Ini kondusif untuk menumbuhkan lapangan kerja dan melakukan agenda reformasi penting. ”Seperti telah saya katakan sebelumnya, kita harus memperbaiki atap rumah selagi cuaca cerah,” kata Lagarde dalam siaran pers pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G-20 di Buenos Aires yang berlangsung pada 20 Maret.
Menurut Lagarde, reformasi lebih penting karena siklus pertumbuhan yang tengah terjadi saat ini akan turun pada saatnya nanti. Ini sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global jangka menengah yang lemah, terutama di negara-negara maju.