JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan penerimaan pendapatan negara dari sektor pajak yang melambat selama tiga tahun terakhir dikhawatirkan menyebabkan target penerimaan pajak pada 2018 tak tercapai. Untuk mendorong pertumbuhan pajak, sedang dipertimbangkan mengenai pengenaan pajak ke sektor ekonomi baru yang tumbuh tinggi, tetapi selama ini belum dikenai pajak.
Menurut anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI-P, Andreas Susetyo, pada 2015 pertumbuhan realisasi penerimaan pajak 7,6 persen selama setahun. Pada 2016, pertumbuhannya 4,26 persen dan pada 2017 4,08 persen. "Dalam tiga tahun terakhir, penerimaan pajak tidak pernah mencapai target," ujar Susetyo dalam diskusi "Mencapai Kebijakan Pajak yang Berkeadilan dan Berkelanjutan" yang diselenggarakan Vox Point Indonesia di Jakarta, Jumat (23/3).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Kementerian Keuangan Pajak Hestu Yoga Saksama mengakui, pertumbuhan penerimaan pajak yang semakin menurun disebabkan oleh masih rendahnya kapasitas institusi pajak. Selain itu, masyarakat sebagai wajib pajak juga masih banyak yang bersikap resisten dan menghindari pajak. "Kami punya bukti bahwa peserta pengampunan pajak, rata-rata memang membayar pajak dengan lebih baik. Pada 2017, pajak penghasilan individu pengusaha naik 46 persen dibandingkan tahun sebelumnya," kata Hestu.
Terkait target penerimaan pajak, Hestu optimistis dapat mencapainya. "Sampai Februari 2018, pertumbuhan penerimaan pajak 15 persen dibandingkan tahun lalu," ujar Hestu.
Stevanus Tianadi, anggota Himpunan Industri Mebel Indonesia, mengatakan, turunnya pertumbuhan penerimaan negara dari sektor pajak dalam tiga tahun terakhir disebabkan oleh daya beli masyarakat yang menurun di sektor konsumsi. Selain itu, banyak pengusaha yang belum taat pajak antara lain karena ketidakpercayaan kepada lembaga pajak. "Kami mau bayar pajak, tetapi butuh kepastian hukum," ujar Stevanus.
Menurut Stevanus, salah satu penyebab pengusaha menaruh uang di luar negeri adalah karena nilai tukar rupiah yang dianggap fluktuatif. "Ini sangat menyusahkan kalau kami impor, bisa kehilangan 10-15 persen keuntungan dalam setahun karena fluktuasi rupiah," ujar Stevanus.
Meski demikian, Stevanus mengapresiasi kebijakan perpajakan Indonesia saat ini yang lebih baik dibandingkan 5-10 tahun lalu. Namun, kepastian hukum masih perlu dibenahi agar pengusaha percaya terhadap institusi pajak. (DD14)