JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan utang yang dialami Indonesia dalam tiga tahun terakhir dipandang berbanding terbalik dengan produktivitas dan daya saing perekonomian yang menurun. Pemerintah mendorong masyarakat agar memahami permasalahan utang secara utuh.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, total utang pemerintah mencapai Rp 4.772 triliun. Berdasarkan data Surat Berharga Negara (SBN) pada September 2017, hutang yang belum lunas mencapai Rp 3.128 triliun yang terdiri dari SBN denominasi rupiah sebesar Rp 2.279 triliun dan valuta asing sebesar 849 triliun.
Posisi utang luar negeri pemerintah pada 2017 mencapai 177 miliar dollar AS. Adapun total utang Indonesia yang terdiri dari utang pemerintah dan swasta lebih dari Rp 7.000 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, hutang tersebut sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya. “Kami sedang mencicilnya,” kata Darmin saat ditemui di kantornya di Jakarta, Jumat (23/3).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan, sampai tahun 2050, Indonesia tercatat masih punya utang jatuh tempo. “Utang ini akan terus ada sebagai strategi menutup defisit anggaran” ujarnya.
Bhima menjelaskan, selama ada defisit di APBN, pemerintah akan mencari utang baru. Sejak 2012, kondisi tersebut memburuk karena ada defisit keseimbangan primer sebesar Rp 52,7 triliun dan pada 2017 naik menjadi Rp 178 triliun.
Ada dua indikator utang yang biasa digunakan, yaitu rasio keseimbangan primer terhadap produk domestik bruto (PDB) dan rasio utang terhadap PDB. Rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada APBN 2017 defisit 1,31 persen.
Hal tersebut menandakan, pemerintah menerbitkan utang baru lagi untuk membayar bunga dan cicilan utang tiap tahunnya sehingga tren utang terus memburuk. “Seharusnya pemerintah membayar utang dengan menggunakan penerimaan pajak,” kata Bhima.
Ia mengatakan, penerimaan pajak dinaikkan dengan cara mendorong sektor produktif dan bukan dengan menaikkan tarif pajak. Industri pengolahan memiliki kontribusi 31 persen ke penerimaan pajak. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan sektor manufaktur sehingga pendapatan pajak meningkat.
Belum produktif
Tingginya utang Indonesia tidak diiringi dengan produktivitas sektoral. Berdasarkan data BPS pada 2017, pertumbuhan sektor padat tenaga kerja seperti industri, pertanian, dan perdagangan tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Ketiga sektor tersebut menguasai 68 persen tenaga kerja nasional, tetapi hanya tumbuh di bawah 5 persen.
Indef mengkritik kebijakan pemerintah yang mengutamakan pembangunan infrastruktur sehingga utang semakin bertambah. Kebijakan tersebut berdampak negatif karena menurunkan jumlah ekspor riil. Hal tersebut disebabkan oleh daya saing dan produktivitas sektoral atau industri yang berorientasi ekspor menurun.
Sebaliknya, jumlah impor riil semakin meningkat sehingga daya saing barang lokal menurun. Hal tersebut terjadi karena kebijakan pembangunan infrastruktur belum mampu memacu pertumbuhan sektoral dan nilai tambahnya.
Kebijakan utang
Dalam keterangan resminya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendorong masyarakat untuk memahami masalah utang secara utuh. Utang merupakan salah satu instrumen kebijakan dalam mengelola keuangan negara dan perekonomian.
Meskipun demikian, utang bukan menjadi tujuan dan satu-satunya alat yang dipakai dalam mengambil kebijakan dalam mengelola keuangan negara serta perekonomian.
Sebagai contoh, nilai aset akumulasi dari hasil belanja pemerintah pada masa sebelumnya. Berdasarkan audit BPK pada 2016, nilai aset pemerintah sebesar Rp 5.456,88 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk nilai hasil revaluasi yang masih dalam proses pelaksanaan, seperti tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain.
Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan, nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp 781 triliun menjadi Rp 2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun.
Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun, termasuk yang berasal dari utang.
Pemerintah akan menurunkan defisit keseimbangan primer agar APBN menjadi sehat dan berkelanjutan. Hal telah terwujud sejak tahun 2016. Keseimbangan primer pada 2015 mencapai defisit Rp 142,5 triliun dan pada 2016 menurun menjadi 125,6 triliun. Pada 2017 kembali menurun menjadi Rp 121,5 triliun.
Kritikan pembangunan infrastruktur, perbaikan pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial kurang tepat karena program tersebut baru akan terlihat hasilnya pada jangka waktu menengah. Misalnya, perbaikan kurikulum pendidikan akan terlihat hasilnya saat anak-anak menyelesaikan proses pendidikan, yaitu 12 tahun untuk SMA dan vokasi, serta 16 tahun untuk pendidikan tinggi.