JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan daya serap industri serta tingginya produksi pada puncak panen membuka peluang investasi pengeringan dan penyimpanan jagung. Hal itu akan menjamin suplai jagung di luar musim panen. Selain itu, risiko petani rugi karena harga jual anjlok dapat ditekan.
Situasi panen musim saat ini dinilai membuka mata bahwa infrastruktur pascapanen belum siap. Harga jagung di sejumlah sentra produksi anjlok karena panen terjadi serentak. Selain itu, kadar air tinggi atau kerusakan jagung terjadi karena faktor cuaca. Sementara mesin pengering terbatas atau jauh dari lokasi panen petani.
Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia Sholahudin saat dihubungi di Lamongan, Minggu (25/3), mengatakan, panen diperkirakan mencapai 2,5 juta hektar selama Februari-April 2018 dengan potensi produksi 12,5 juta ton. Sementara kapasitas serap industri pakan hanya sekitar 1,3 juta ton per bulan atau 4 juta ton selama tiga bulan puncak panen tersebut.
Akibatnya, harga jual jagung tertekan. Jagung milik petani di sentra produksi di Lampung Timur, Provinsi Lampung, misalnya, hanya laku Rp 2.000 per kilogram (kg) basah pekan lalu. Situasi serupa dialami sejumlah petani di Lampung Selatan. Selain kadar air tinggi, harga jagung juga turun akibat lonjakan pasokan karena panen bersamaan.
Padahal, dibandingkan provinsi lain, Lampung memiliki pabrik dan fasilitas pengering lebih banyak. Sholahudin mencontohkan jagung asal Banten yang mesti dibawa ke Lampung karena pabrik pakan tidak membeli jagung dengan kadar air lebih dari 17 persen. ”Setelah dikeringkan di Lampung, jagung dibawa kembali ke Banten untuk diolah pabrik pakan ternak,” ujarnya.
Petani yang dekat dengan fasilitas dan pabrik pengering menikmati harga lebih tinggi. Menurut Sholahudin, petani jagung di Jawa Timur bahkan bisa menjual jagungnya Rp 3.300- Rp 3.400 per kg ke tengkulak, naik dibandingkan bulan lalu yang masih Rp 3.200 per kg.
Tak bisa diserap
Selain di Lampung, harga jual jagung petani di Pandeglang, Banten, juga tidak optimal. Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Sola meski pabrik pakan banyak berlokasi di Banten, jagung petani tidak bisa diserap langsung karena pabrik hanya menyerap jagung kering. Karena kondisinya basah, jagung dibeli rendah oleh tengkulak untuk dikeringkan di Lampung.
Peluang berinvestasi mesin pengering dan gudang penyimpanan terbuka. ”Sebelum diterima pabrik pakan, jagung butuh dikeringkan terlebih dulu. Nah, di sisi penghubung antara petani dan industri ini, pelakunya masih relatif terbatas, tetapi peluang investasi cukup besar,” ujarnya.
Sholahudin mencontohkan, investor yang membangun pabrik pengeringan berikut silo (fasilitas penyimpanan barang curah) di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tahun lalu. Nilai investasinya sekitar Rp 20 miliar, termasuk mesin pengering senilai Rp 5 miliar. Karena ditopang produksi jagung yang cukup, keuntungan tak sampai setahun bisa menutup ongkos pembangunan mesin pengering.
Akan tetapi, pemerintah dinilai perlu memberi stimulus agar pengembangan infrastruktur pascapanen bisa lebih cepat dan luas. Caranya, kata Sholahudin, antara lain, dengan memberi fasilitas pinjaman modal berbunga ringan sebagaimana dilakukan Pemerintah Thailand.
Selain itu, pemerintah perlu menjamin stabilitas harga di tingkat petani. Terkait stabilitas harga di tingkat petani, pemerintah memang menugaskan Perum Bulog. Namun, kapasitas penyerapannya masih relatif kecil dibandingkan produksi.
Sekretaris Perum Bulog Siti Kuwati mengatakan, hingga 16 Maret 2018, pihaknya telah mengikat kontrak pembelian jagung 397.495 ton di sejumlah sentra produksi, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara. Dari jumlah itu, sebanyak 142.981 ton di antaranya telah terealisasi. (MKN)