JAKARTA, KOMPAS--Kapasitas tumbuh Indonesia dalam jangka dekat masih berkisar 5,0-5,5 persen. Bank Dunia memperkirakan, dengan perhitungan ketersediaan infrastruktur, keterampilan manusia, dan produktivitas nasional saat ini, belum mampu mengantarkan pertumbuhan RI di atas itu.
”Disamping menguatnya risiko global, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka dekat kemungkinan besar akan stabil. Mempercepat pertumbuhan ekonomi di atas 5,5 persen dalam periode yang sama (dengan segala risiko global) akan menjadi tantangan,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia Indonesia, Frederico Gil Sander, dalam paparannya di Jakarta, Selasa (27/3).
Dalam hal infrastruktur, stok atau ketersediaan infrastruktur yang sudah terbangun di Indonesia terpaut 1,5 triliun dollar AS dari negara berkembang lainnya. Dalam hal keterampilan sumber daya manusia, 55 persen anak Indonesia berusia 15 tahun tak memiliki cukup kemampuan baca dan tulis. Sementara, tenaga kerja Indonesia termasuk murah, tetapi biayanya tinggi karena produktivitasnya rendah. Ketiga hal itu jadi modal pertumbuhan.
Bank Dunia melalui laporan perkembangan perekonomian triwulanan memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sebesar 5,3 persen pada 2018-2020. Untuk tahun ini, proyeksinya 5,3 persen. Artinya, ekonomi selama tiga tahun ke depan diperkirakan tumbuh tipis sebagaimana terjadi dalam dua tahun terakhir.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan pasca ledakan komoditas. Kondisi ini terus terjadi sejak 2012 hingga menyentuh level terendah pada 2015, yang sebesar 4,79 persen. Tahun 2016 dan 2017, ekonomi mulai tumbuh dengan laju pelan. Masing-masing sebesar 5,03 persen dan 5,07 persen.
Investasi dan ekspor sebenarnya mencatatkan kinerja positif mulai triwulan III-2017. Investasi sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar kedua tumbuh 7,11 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016. Ini adalah pertumbuhan tertinggi sejak 2013.
Adapun ekspor triwulan III-2017 tumbuh 17,27 persen. Ini merupakan pertumbuhan ekspor tertinggi sejak triwulan IV-2011. Catatan terakhir yang lebih tinggi terjadi pada triwulan III-2011, yakni 17,76 persen, ketika terjadi ledakan komoditas.
Tekanan
Mengacu pada laporan Bank Dunia, pertumbuhan investasi masih akan berlanjut dengan karakter investasi padat impor. Kondisi ini akan memberi tekanan terhadap neraca transaksi berjalan.
Bank Dunia memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan melebar dalam jangka menengah. Hal ini sejalan dengan permintaan dalam negeri yang menguat dan nilai tukar perdagangan yang lebih lemah.
Sementara, momentum pertumbuhan ekspor akan mengalami tantangan. Hal ini merupakan dampak dari proteksionisme yang meningkat. Bahkan, pemulihan perdagangan global berisiko terhenti.
Adapun untuk konsumsi rumah tangga, beberapa faktor memiliki dampak yang saling bertolak-belakang. Secara empirik, lanjut Frederico, inflasi rendah dan nilai tukar rupiah yang kuat menjadi faktor struktural pendorong pertumbuhan ekonomi. Dampaknya baru terasa beberapa triwulan kemudian.
Inflasi saat ini rendah sehingga menjadi faktor pendorong. Namun, depresiasi rupiah menjadi faktor penahan. Kedua faktor ini secara keseluruhan memberikan efek yang ambigu terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga ke depan.
Pada saat yang sama, pesta demokrasi dan harga komoditas yang bagus diharapkan menjadi faktor pendorong lainnya. Kondisi pasar tenaga kerja yang meningkat dan transformasi pekerja dari pertanian ke manufaktur diharapkan menjadi faktor yang memperkuat konsumsi rumah tangga. Secara keseluruhan, konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh landai dalam dua tahun ke depan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah tetap berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus inklusif. Keduanya hal itu sama-sama penting dan saling melengkapi.
”Kalau ekonominya lebih inklusif, bisa meningkatkan peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,4 persen. Sementara, tahun 2019 pemerintah menargetkan 5,6-5,9 persen.