Kuasa Pemilik Data
Dalam sepekan, kasus Cambridge Analytica masih menjadi perbincangan di seluruh dunia. Sejauh ini, kasus tersebut masih dalam penyelidikan dari sisi pidana. Akan tetapi, yang sudah nyata adalah pelanggaran etika dalam hal pemberian akses data pribadi ke pihak ketiga. Kasus ini memperlihatkan betapa data sangat penting bagi seorang pebisnis dan politikus dalam mengambil keputusan. Inilah era pemilik data berkuasa!
Di dalam ilmu pemasaran, kita sering mendengar istilah psikografi. Psikografi adalah cara menggambarkan faktor-faktor psikologis yang membentuk konsumen. Dari sinilah muncul segmentasi konsumen. Dalam ilmu ini, ada faktor yang membentuk segmentasi, yaitu kelas sosial, kepribadian, dan gaya hidup. Cara yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor itu adalah dengan survei dan wawancara. Hasil dari survei dan wawancara berupa data agregat yang dengan bantuan ilmu statistika bisa digunakan untuk menyimpulkan kecenderungan di dalam sebuah masyarakat, kelompok, atau komunitas.
Ketika kita mempunyai produk dan berbekal data segmentasi konsumen itu, kita mudah menyasar konsumen yang dikehendaki, seperti kelas sosial dan gaya hidup tertentu. Cara ini kemudian juga diaplikasikan di dalam dunia politik hingga dikenal pemasaran politik. Namun, cara ini memiliki kelemahan karena berdasarkan data agregat. Kita hanya bisa sampai perkiraan saja. Akibatnya, cara pemasaran juga tidak langsung menyasar ke individu.
Di kalangan para ahli, survei atau wawancara juga tidak memberikan hasil yang memuaskan. Ada kemungkinan manipulasi, responden lupa, responden menyembunyikan fakta tertentu, atau responden tidak memahami secara jelas pertanyaan yang disodorkan. Kemungkinan bias juga bisa muncul saat dilakukan survei dan wawancara. Mereka ingin agar data itu benar-benar apa adanya.
Kehadiran teknologi digital membuat pemasaran, baik untuk bisnis maupun politik, mudah menarget sasaran. Salah satunya menggunakan media sosial. Bagi seseorang, media sosial menjadi tempat untuk mewartakan diri, mengungkapkan diri, mengekspresikan diri, menampilkan diri, dan lain-lain. Otomatis mereka yang menguasai data dari akun media sosial itu akan memahami kelas sosial, kepribadian, dan gaya hidup secara lengkap. Tidak lagi berupa data agregat, tetapi data personal, satu per satu sehingga perusahaan pemasaran dengan mudah menarget calon konsumennya.
Mereka yang berhak menggunakan data itu adalah perusahaan-perusahaan media sosial untuk berinteraksi dengan pemegang akun, tetapi tidak diperkenankan memperjualbelikan data itu atau memindahtangankan kepada pihak lain.
Cara yang sudah lama dan legal dilakukan adalah semisal kita memiliki akun media sosial dan kita memiliki pengikut, kita bisa melihat dan memantau pengikut kita atau menambang data dari pengikut kita. Cara ini legal karena data itu bersifat terbuka. Semua orang bisa melihat data itu. Kampanye Presiden Barack Obama pada 2008 dan 2012 menjadi contoh timnya memanfaatkan interaksi antara Obama dan pengikutnya melalui media sosial dengan cara seperti itu.
Kasus Cambridge Analytica sangatlah berbeda. Kasus ini setidaknya merupakan contoh pelanggaran etika. Cambridge Analytica awalnya membangun sebuah aplikasi yang berisi tes kepribadian. Sebanyak 270.000 pengguna Facebook mengakses aplikasi ini dan menyelesaikan tes itu. Facebook dituduh memberikan akses data pengguna itu ke Cambridge Analytica.Cambridge Analytica juga mendapat data teman-teman dari 270.000 orang yang mengisi tes kepribadian itu sehingga total data personal bisa mencapai 50 juta orang.
Dari data itu dan ditambah dari sumber-sumber lain, mereka bisa membangun gudang data hingga lebih dari dua kali lipat jumlah data semula. Dari data ini kemudian seorang pemasar politik bisa membuat kampanye yang tepat sasaran, termasuk menebar informasi yang dibelokkan.
Kasus lain mungkin masih akan terjadi karena sekarang hampir semua berlomba mendapatkan data. Para pemilik data tengah menjadi raja yang sangat berkuasa. Namun, persoalan etika dalam pengelolaan data sering dilanggar demi keuntungan bisnis semata. (ANDREAS MARYOTO)