Belajar dari Uber
Kabar penjualan Uber ke Grab sudah lama muncul. Akhirnya Uber meninggalkan Indonesia. Mereka hanya menyisakan saham 27,5 persen di Grab. Banyak pertanyaan yang muncul tentang penyebab kepergian mereka. Sebuah pelajaran dari Uber bagi perusahaan digital lainnya, baik di jasa transportasi maupun jasa lainnya yang kini mulai berkembang.
Kasus ini sebenarnya bukan pertama kali. Uber pernah meninggalkan China dan Rusia beberapa waktu yang lalu. Kegagalan Uber di luar Amerika Serikat sebenarnya sudah diramalkan sejak lama. Mereka sulit berkompetisi dengan pemain lokal. Di luar urusan hambatan aturan di beberapa negara, perusahaan ini menghadapi beberapa persoalan yang tidak segera diselesaikan.
Pada tahun 2014, jauh sebelum terjadi kegagalan itu, Chief Executive Officer Elmodis, sebuah usaha rintisan yang bergerak di bidang internet untuk berbagai keperluan (IoT), Adam Komarnicki di akun media sosialnya menyebutkan kemungkinan beberapa potensi penyebab kegagalan operasi Uber di luar Amerika Serikat. Pada awal tulisannya ia mengatakan, Uber terlalu ”bergaya” Amerika sehingga hanya cocok dengan gaya hidup orang Amerika.
Komarnicki juga menyebutkan, Uber yang mengagetkan dunia dengan model bisnisnya, masuk ke beberapa negara ketika pemain lokal sudah menjiplak model bisnisnya dan berhasil. Kondisi ini menyebabkan kehadiran Uber tidak membuat media dan warga di sejumlah negara itu terkagum-kagum. Alih-alih malah banyak berita negatifnya. Sekalipun aplikasi Uber sangat canggih, tetapi gagal mengimpresi konsumen lokal. Pemain lokal yang muncul lebih awal langsung menjadi bahan pembicaraan dan dengan mudah mendapat pengunduh.
Kasus ini terjadi di Indonesia. Keadaan itu tidak segera diatasi dengan membuat kampanye yang mendekatkan mereka dengan konsumen setempat. Uber malah terkesan berjarak. Media lokal juga sepertinya tidak peduli dengan perkembangan Uber. Sementara pemain lokal makin agresif dalam berkampanye melalui sejumlah iklan, jumpa pers, dan menambah layanan sesuai dengan gaya hidup konsumennya.
Di dalam sisi layanan, dari perbincangan dengan beberapa konsumen, mereka mengaku kecewa karena beberapa sopir transportasi daring (tidak hanya Uber) cenderung tidak bersikap melayani. Mereka juga tidak berkesan membawa kenyamanan bagi konsumennya.
Keadaan ini mungkin karena beberapa sopir ternyata tidak independen. Kondisi seperti ini menjadi salah satu penyebab kegagalan Uber di China. Mereka hanyalah pekerja dari para pemilik kendaraan. Otomatis mereka bekerja mengejar setoran. Bonus yang didapat mungkin tidak terlalu dirasakan oleh sopir, tetapi lebih dirasakan oleh para pemilik, yang tak lain adalah pemilik akun. Sopir yang independen lebih memberi kenyamanan.
Ekonomi berbagi yang diharapkan dari operasi Uber dan perusahaan lainnya tidak terlalu dirasakan oleh para sopir. Tidak mengherankan, situasi di dalam mobil tidak seakrab dengan para pengemudi ojek daring. Pengendara ojek adalah pemilik sepeda motor itu sendiri dan mereka bisa merasakan langsung dampak dari usaha mereka selama ini. Interaksi di ojek daring lebih akrab, baik antarpengendara maupun antara pengendara dan konsumennya. Rasa memiliki para pengemudi ternyata berdampak ke layanan.
Kritik lainnya terhadap Uber adalah mereka masuk, tetapi kurang memahami situasi lokal hingga terkesan asal masuk. Pengetahuan tentang keadaan lokal penting dengan berusaha memahami masalah setempat, seperti kesulitan pengemudi menggunakan telepon pintar, kebingungan pengemudi untuk mendapatkan telepon pintar karena beberapa pengemudi melihat alat itu sebagai barang mahal. Cara pembayaran dengan kartu kredit yang tidak sepenuhnya bisa diterima oleh konsumen tidak segera dicarikan jalan keluar. Uber masuk tahun 2014, tetapi pembayaran tunai baru dibuka dua tahun kemudian. Perusahaan lain yang berusaha menyelesaikan masalah ini lebih awal lebih sukses dibandingkan lainnya.
Beberapa masalah seperti ini kurang mendapat perhatian serius hingga citra Uber tidak melekat di kalangan konsumen setempat. Komunikasi dengan konsumen setempat yang kurang memadai dan masalah lain yang menimpa seputar taksi daring (tidak hanya Uber) makin menumpuk dan akhirnya mengakibatkan bisnis mereka kurang mulus di Indonesia.
(ANDREAS MARYOTO)