JAKARTA, KOMPAS — Mewujudkan desa mandiri tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur. Kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
Hal itu mengemuka dalam dialog Teras Kita bertema ”Mewujudkan Masyarakat Desa Mandiri”, Kamis (29/3), di Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dan Transmigrasi, Jakarta. Acara itu digelar atas kerja sama Kompas dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama).
Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo; anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Budiman Sudjatmiko; Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia Sindawa Tarang; Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada, Susetiawan; dan Kepala Desa Pandak, Baturraden, Banyumas Rasito hadir sebagai pembicara.
Eko mengatakan, percepatan pertumbuhan ekonomi desa ditempuh melalui empat program prioritas, yakni produk unggulan kawasan perdesaan, pembangunan embung, badan usaha milik desa (BUMD), dan sarana olahraga. Keempat program tersebut diwujudkan melalui alokasi dana desa, misalnya pembangunan embung sebesar Rp 200 juta dan sarana olahraga Rp 50 juta.
Pada 2018, pemerintah menggulirkan dana desa dengan nilai total Rp 60 triliun untuk 74.957 desa. Setiap desa memperoleh sekitar Rp 800,4 juta.
Alokasi yang diterima setiap desa terus meningkat dari Rp 280,9 juta pada 2015 menjadi Rp 643,6 juta pada 2016. Kemudian, pada 2017 dan 2018 sebesar Rp 800,4 juta.
Menurut Eko, secara bertahap dana desa mengatasi kemiskinan. Saat ini penduduk miskin yang tinggal di perdesaan berjumlah 318.960 orang atau 12 persen dari 26,58 juta penduduk miskin di Indonesia. Mereka bukan hanya miskin secara ekonomi, melainkan juga dalam pendidikan, infrastruktur, dan aksesibilitas.
”Pada 2050, Indonesia diprediksi masuk empat besar negara dengan ekonomi terkuat. Hal itu sulit terwujud tanpa percepatan ekonomi desa,” kata Eko.
Pengembangan SDM
Budiman mengatakan, percepatan ekonomi desa harus diiringi pengembangan sumber daya manusia. Mayoritas kepala desa di Indonesia hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).
Dalam 5-10 tahun mendatang, kesenjangan akan semakin lebar karena segelintir orang yang berpendidikan tinggi bekerja lebih produktif.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini di Indonesia per September 2017 sebesar 0,391. Rasio gini di perkotaan sebesar 0,404 dan di perdesaan sebesar 0,32. Semakin besar rasio gini, jurang ketimpangan semakin dalam.
Budiman menambahkan, sebagian dana desa seyogianya dialokasikan untuk investasi pendidikan masa depan. Pemuda desa diberi beasiswa sekolah gratis hingga jenjang sarjana atau diploma. Mereka akan ikut mengembangkan desa setelah lulus kuliah.
Kualitas sumber daya pemuda desa harus terus ditingkatkan, terutama di era perkembangan teknologi dan digital.
”Akses terhadap teknologi lebih menentukan dalam 5-10 tahun mendatang ketimbang akses terhadap uang atau infrastruktur. Istilahnya, jangan sampai kita menutup lubang tanpa mengantisipasi terjadi pengerukan di lubang lain,” kata Budiman.
Regulasi rumit
Sindawa memaparkan, implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkendala di tingkat kabupaten. Pencairan dana desa kerap terhambat sejumlah aturan bupati yang bersifat politis.
Ia mencontohkan, ada bupati yang mewajibkan alokasi dana desa untuk dua kader pendamping desa dalam satu dusun. Setelah ditelusuri, kehadiran dua kader itu untuk kepentingan partai tertentu. ”Kepala desa tolong dibantu agar bupati tidak memolitisasi kebijakan dana desa,” kata Sindawa.
Selain itu, kata Sindawa, pola pencairan dana desa terlalu kaku dengan penerimaan bertahap 20 persen, 40 persen, dan terakhir 40 persen. Aturan yang kaku tersebut menyebabkan serapan dana pada tahap pertama dan kedua tidak optimal. Sejumlah kepala desa nekat menyiasati hal itu, yang berujung pada 168 kasus dana desa. Padahal, mayoritas kasus akibat maladministrasi.
Susetiawan menambahkan, kepala desa dan warganya dituntut kreatif dalam memanfaatkan dana desa. Selain infrastruktur, karakter warga desa harus dibentuk melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dan sosial ini memerlukan sinergi berbagai pihak, termasuk kementerian. Solidaritas antarlembaga kementerian harus dibentuk untuk ditularkan kepada institusi di bawahnya.