TAIPEI, KOMPAS — Pengembangan sektor transportasi dan lalu lintas menjadi kunci menuju terbentuknya kota cerdas. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk memberi manfaat bagi warganya. Untuk itu, penerapannya mesti disesuaikan dengan kondisi setiap kota.
Hal ini terungkap dalam Smart City International Forum 2018 mengenai ”Intelligent Transportation System”, Kamis (29/3), di Taipei, Taiwan. Dalam forum tersebut, hadir para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi, pemerintah, penyedia jasa di sektor teknologi, hingga pelaku usaha transportasi.
Senior Vice President Intelligent Transport System (ITS) Jepang Shigetoshi Tamoto mengatakan, pemanfaatan teknologi untuk mengatasi masalah perkotaan telah lama dikembangkan di Jepang. Pada 1917, tingkat polusi luar biasa tinggi di negara itu, lalu lintas pun kacau. Banyak orang tewas karena kecelakaan lalu lintas. Kemudian dicari cara untuk mengurangi korban jiwa, misalnya dengan pengenaan sabuk pengaman dan kantong udara di mobil yang merupakan cara pasif.
”Lalu, pencegahan dikembangkan melalui sistem navigasi kendaraan, manajemen lalu lintas, hingga sistem prediksi sinyal lalu lintas,” kata Tamoto.
Kini, lanjut Tamoto, salah satu tantangan di Jepang adalah penduduk yang menua. Pemerintah Jepang pun mengintegrasikan wilayah perdesaan dan perkotaan agar penduduknya mudah mengakses fasilitas dasar. Industri pun didesain berkapasitas tinggi dengan transportasi yang efisien. Hal lainnya adalah mengembangkan kendaraan tanpa pengemudi.
Presiden ITS Indonesia yang juga Presiden Direktur Grup Blue Bird Noni Purnomo mengatakan, langkah ataupun kebijakan untuk menuju kota cerdas di sektor ekonomi juga mulai berkembang di Indonesia. Hal itu dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Secara fisik, terjadi pembangunan berbagai infrastruktur untuk mendukung mobilitas orang ataupun barang. Namun. Hal itu masih belum berjalan beriringan.
Dengan jumlah penduduk sangat besar dan kelas menengah yang terus tumbuh, Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar. Namun, pekerjaan rumah di sektor transportasi pun juga banyak. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, dari rata-rata 47,5 juta pergerakan kendaraan di Jakarta dalam sehari, 75 persen di antaranya adalah kendaraan bermotor roda dua dan 23 persen kendaraan pribadi. Hanya 2 persen sisanya yang merupakan transportasi publik.
Pertambahan panjang kendaraan dengan jumlah pertumbuhan kendaraan pun tidak sejalan. ”Indonesia punya transportasi konvensional, sekarang juga masuk ke aplikasi. Orang mulai bisa merencanakan perjalanan. Memang belum terintegrasi, tetapi ini sudah merupakan awal yang baik,” ujar Noni.