Kemasan Pencuri Hati Konsumen
Apalagi, kesadaran mengenai produk ramah lingkungan tak hanya baik bagi lingkungan, namun juga menjanjikan dari sisi bisnis. Alhasil, ikhtiar mengefisienkan pemakaian bahan baku, termasuk di sisi kemasan, kian jamak dilakukan pelaku usaha.
Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik mencatat, dalam 10-15 tahun terakhir, industri plastik kemasan mengurangi 40 persen berat kemasan. Kemasan yang semula 25 gram per botol berkurang menjadi 15 gram per botol. Pengurangan bobot kemasan plastik itu merupakan upaya mengefisienkan pemakaian plastik.
Kini, botol plastik produk minuman kian tipis, namun tetap kuat. Desain yang dirancang berlekuk-lekuk berpengaruh terhadap kekuatan konstruksi botol tersebut. Tipis dari sisi dimensi, tetapi andal menjalankan fungsi sebagai kemasan.
”Banyak juga pelaku usaha yang berinovasi dengan menggunakan bahan selain plastik, dengan model-model seperti gelas kertas dan sebagainya,” kata Karina, Kepala Bagian Regulatory Asosiasi Industri Minuman Ringan, beberapa waktu lalu.
Karina menuturkan, setiap jenis bahan kemasan memiliki karakteristik masing-masing. Oleh karena itu, kelebihan dan kekurangan setiap bahan tersebut perlu dicermati.
Ia mencontohkan botol beling atau kaca. Kendati dapat didaur ulang atau digunakan lagi, pembuatan botol kaca menggunakan pasir kuarsa yang notabene merupakan sumber daya tidak terbarukan. Pembersihan botol untuk produk minuman juga membutuhkan banyak energi.
Karina mengapresiasi kegiatan berorientasi lingkungan yang semakin marak, seperti gerakan bersih-bersih dan pelatihan pembuatan bank sampah. ”Bank sampah bisa meningkatkan volume ekonomi masyarakat. Mereka bisa memilah bahan yang didaur ulang, termasuk menjadikan sampah organik sebagai kompos,” ujarnya.
Gerakan penghematan kemasan juga kerap disuarakan dan diingatkan, termasuk bagi pelaku industri kecil dan menengah (IKM). Apalagi, penghematan berdampak positif, baik dari aspek lingkungan maupun profit perusahaan.
”Pemakaian kemasan yang kurang tepat bisa berdampak merugikan bagi bisnis IKM,” kata Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Betsy Monoarfa pada diskusi kelompok terfokus beberapa waktu lalu.
Kemasan bermutu dapat mengoptimalkan masa simpan produk. Pemakaian kemasan yang berlebihan harus dihindari karena berpotensi membebani biaya produksi. Pada akhirnya, hal itu berujung pada harga jual produk yang tidak kompetitif.
Betsy mengilustrasikan, IKM tak perlu menggunakan kemasan berukuran 15 sentimeter x 30 sentimeter (cm) jika cukup dengan kemasan seukuran 15 cm x 20 cm. Tak usah juga menggunakan kemasan setebal 0,8 milimeter (mm) jika yang diperlukan hanya kemasan setebal 0,5 mm.
Meskipun sepintas terkesan sepele, selisih ukuran kemasan itu menimbulkan pemborosan yang lumayan saat diterapkan pada ribuan item produk IKM. Tak urung penghematan dari sisi kemasan akan membuat harga produk menjadi lebih murah. Penghematan kemasan menjadi relevan dengan daya saing produk IKM.
Lokal
Pemakaian kemasan berbahan baku alami yang tersedia secara lokal menjadi pendekatan yang dilakukan beberapa pelaku usaha di Tanah Air. Dalam upaya ini, aspek lingkungan, sosial, dan bisnis berpadu.
”Kami memberdayakan satu desa di Garut, Jawa Barat, yang selama ini membuat kerajinan besek (wadah dari anyaman bambu),” kata Asep Maosul yang mengurusi pengembangan bisnis PT Tama Cokelat Indonesia.
Semula, lanjut Asep, sebagai perusahaan yang memproduksi cokelat isi dodol garut, pihaknya ingin mengangkat sisi etnik. Kerajinan wadah anyaman bambu yang lazim dikenal di Garut pun dilirik.
Wadah anyaman bambu berukuran besar yang kerap dipakai sebagai tempat hantaran nasi itu pun diperkecil. Versi mini itulah yang dipakai untuk mengemas cokelat produksi perusahaan tersebut.
Bentuk anyaman bambu mini kemasan cokelat itu pun beragam. Selain berwujud kotak seperti besek, ada pula kemasan mungil anyaman bambu berbentuk boboko (bakul) dan aseupan (kukusan serupa kerucut).
”Idenya tetap dari kami. Tahun 2009, kami mulai memesan kepada para perajin untuk memasok kerajinan tangan mereka kepada kami sebagai kemasan produk cokelat,” kata Asep.
Kemasan mungil bambu itu diberi warna sesuai varian rasa cokelat di dalamnya. Merah muda untuk rasa stroberi, ungu untuk blueberry, coklat untuk cokelat, dan seterusnya.
Asep mengatakan, produk cokelat berkemasan mungil dengan bahan bambu tersebut bahkan pernah meraih penghargaan internasional dalam ajang Tuttofood 2011 di Milan, Italia. Produk itu meraih penghargaan produk nasional dengan kemasan tradisional terbaik sedunia.
Produk cokelat berkemasan bambu pun ikut ditampilkan dalam ajang temu bisnis dengan delegasi pelaku usaha Prefektur Fukuoka di Kementerian Perindustrian, akhir Februari lalu.
Pemakaian kemasan yang lebih ramah lingkungan layak dikembangkan demi bisnis berkelanjutan. Tak cukup sekadar menarik. (C ANTO SAPTOWALYONO)