JAKARTA, KOMPAS — Kredit usaha rakyat dapat digunakan untuk mendukung kebutuhan pekerja migran Indonesia beserta keluarganya. Dukungan itu baik dalam bentuk pembiayaan pemberangkatan maupun pembiayaan wirausaha produktif.
Untuk memperlancar distribusi kredit usaha rakyat (KUR) bagi pekerja migran Indonesia, fasilitas itu mesti terintegrasi dengan program pembinaan di desa asal pekerja.
Koordinator Program Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) Lembata (Nusa Tenggara Timur) untuk program advokasi perlindungan buruh migran Indonesia, Kor Sakeng, menceritakan, sosialisasi program KUR di daerah tidak secara spesifik menyasar pekerja migran dan keluarganya.
”Pelaku jasa keuangan yang menyalurkan KUR belum banyak melirik pekerja migran Indonesia. Padahal, mereka adalah segmen potensial untuk menerima pembiayaan,” ujar Kora Sakeng yang dihubungi, Minggu (1/4), dari Jakarta.
YKS Lembata, mitra Migrant Care, mendampingi kegiatan pelatihan wirausaha produktif di enam desa di Lembata. Enam desa ini belum tersentuh KUR.
Sejauh ini, pemerintah sudah terlibat membina perkampungan keluarga buruh migran di sana. Pemerintah tingkat desa sudah berkembang lebih mandiri. Namun, dana desa belum banyak yang terintegrasi dengan program kewirausahaan produktif pekerja migran.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, realisasi penyaluran KUR pada 2017 sebesar Rp 96,7 triliun dengan jumlah debitur 4.086.971 orang. Realisasi KUR itu terdiri dari skema KUR mikro Rp 65,2 triliun, KUR ritel Rp 31,2 triliun, dan KUR penempatan TKI Rp 300 miliar.
Pada Januari-Februari 2018, realisasi penyaluran KUR mikro Rp 64,259 miliar, KUR kecil Rp 26,747 miliar, dan KUR penempatan TKI Rp 297,335 juta.
Mengacu pada Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 11 Tahun 2017, ada empat jenis penyaluran KUR, yaitu KUR mikro, KUR kecil, KUR penempatan TKI, dan KUR khusus. TKI purna termasuk pihak yang dapat mengakses fasilitas KUR mikro dan KUR kecil.
Masalah utama
Manager Program Advokasi Hak Asasi Manusia ASEAN di Human Rights Working Group Daniel Awigra berpendapat, besarnya pengeluaran pekerja untuk biaya keberangkatan ke negara tujuan masih menjadi masalah utama. Eksploitasi pekerja migran dimulai dari urusan pengeluaran ini.
Di lapangan masih ditemukan perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) yang membebankan ongkos atau pungutan pemberangkatan di luar ketentuan biaya penempatan. Cara pandang ini terkait dengan untung dan rugi.
Menurut Daniel, KUR penempatan TKI merupakan cara untuk mengganti ketergantungan pekerja migran terhadap PPTKIS. Buruh menjadi lebih mandiri dalam mengurus pembayaran struktur biaya pemberangkatan.
”Langkah selanjutnya, pemerintah mau memperjuangkan zero cost atau maksimum biaya satu bulan gaji untuk kebutuhan pembiayaan pemberangkatan,” katanya.
Sesuai data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), penempatan pekerja migran Indonesia pada 2017 sebanyak 261.820 orang, yang terdiri dari 118.830 pekerja formal dan 142.990 pekerja informal. Adapun pada Januari-Februari 2018, penempatan pekerja migran Indonesia mencapai 37.045 orang, yang terdiri dari 18.647 pekerja formal dan 18.398 orang pekerja informal.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengemukakan telah bekerja sama dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia untuk mengembangkan program Desa Migran Produktif.