Menimbang Tarif
Jalan tol tengah jadi pembicaraan. Bukan hanya soal pembangunannya yang tengah gencar. Soal penurunan tarif juga dibahas.
Jika dilihat, penambahan jalan tol periode 1978-2014 sepanjang 780 kilometer. Saat ini, panjang jalan tol mencapai 1.200 kilometer dan masih akan terus bertambah.
Kini, pemerintah berencana menurunkan tarif tol di 39 ruas. Rasionalisasi tarif tersebut, menurut rencana hanya untuk jalan tol yang dibangun atau diresmikan setelah tahun 2010. Hal itu terkait dengan periode waktu pembangunan jalan tol. Perlu diingat, kendati tol di Indonesia adalah jalan nasional dan lahannya dibebaskan pemerintah, tetapi pembangunannya dilakukan swasta.
Pembangunan jalan tol di Indonesia setidaknya dibagi menjadi empat periode, yang dikaitkan dengan nilai tukar rupiah dengan dollar AS. Periode pertama adalah antara 1980-an hingga 2000. Pada 1980, 1 dollar AS setara dengan Rp 625. Kemudian pascakrisis moneter, pada 2000, 1 dollar AS setara Rp 8.400. Adapun tarif tol per kilometer berkisar Rp 212-Rp 416.
Periode kedua, antara 2000-2010. Pada 2000, 1 dollar AS setara Rp 8.400 dan pada 2010, 1 dollar AS setara Rp 9.000. Pada saat itu, ruas Tol Ulujami dan Tol Cipularang mulai dibangun dengan tarif Rp 709 per kilometer.
Kemudian, periode ketiga adalah 2011-2014. Pada 2011, 1 dollar AS setara dengan Rp 9.000. Adapun pada 2014, 1 dollar AS setara Rp 13.000. Pada periode tersebut, ruas Surabaya-Mojokerto, Lingkar Luar Bogor, dan Jalan Tol Bali Mandara mulai dibangun. Tarif tol Rp 900 sampai Rp 1.000 per kilometer.
Terakhir, periode setelah 2015 hingga kini. Pada periode tersebut, ada beberapa ruas tol yang sebelumnya sempat tertunda karena masalah pembebasan lahan. Akibatnya, seluruh biaya yang telah dikeluarkan dikonversi ke tarif dan volume lalu lintas. Sementara pada periode itu, 1 dollar AS setara dengan Rp 13.000. Tarif tol Rp 750-Rp 1.300 per kilometer.
Tarif pada sebuah ruas tol memperhitungkan tingkat pengembalian investasi dengan memperhitungkan bunga pinjaman dengan melihat proyeksi kendaraan yang akan lewat. Namun, penerapan tarif tol juga melihat kemampuan pengguna untuk membayar dan kemauan pengguna untuk membayar.
Di Jawa, biaya sekitar 30 persen investasi jalan tol berasal dari ekuitas investor, sedangkan 70 persen dari pinjaman. Namun, pada ruas tol yang belum layak secara finansial, pemerintah memberikan dukungan, misalnya, dengan membangun sebagian ruas. Jika tidak, maka tarif tol yang dibebankan kepada pengguna akan semakin tinggi. Secara sederhana, jika tarif akan diturunkan, maka biaya investasi mesti dikurangi.
Beberapa opsi yang dikaji pemerintah untuk menurunkan tarif adalah memperpanjang masa konsesi hingga maksimal 50 tahun, menyederhanakan golongan kendaraan niaga hingga pemberian insentif. Hal lain yang juga dapat menurunkan tarif adalah pemberian fasilitas pembiayaan kembali oleh pemerintah, penerapan tarif maksimum untuk perjalanan tertentu hingga pengembangan kawasan untuk membangkitkan lalu lintas kendaraan.
Mahalnya tarif hanya satu hal dalam komponen biaya logistik. Itu pun ada di hilir. Masih ada waktu dan komponen biaya di tempat asal maupun tujuan pengiriman. Dampak harga jual terhadap pengguna jasa transportasi hanya sekitar 1-2 persen.
Hal lain adalah soal kelebihan dimensi dan muatan oleh sebagian besar kendaraan niaga. Pengemudi yang tahu membawa muatan berlebih pun enggan masuk ke jalan tol. Selain soal biaya, mereka tahu tidak akan bisa melaju dengan cepat di jalan tol karena muatan berlebih. Masalah lain, kendaraan tidak melaju maksimal karena sudah tua. Pengusaha jasa ekspedisi mengeluh, proses regenerasi kendaraan memerlukan biaya yang besar. Di sisi lain, hal ini terkait dengan tindakan tegas dari aparat yang berwenang terhadap kendaraan yang melanggar.
Penurunan tarif tol untuk menurunkan biaya logistik mesti diapresiasi. Namun, kepastian berinvestasi di industri jalan tol juga mesti dijaga. (Norbertus Arya Dwiangga)