Penggunaan TKA Harus Perhatikan Kondisi Pasar Kerja Lokal
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing diundangkan pada 29 Maret 2018. Peraturan presiden ini berusaha mempertegas arahan bahwa apabila ada jabatan yang belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia, jabatan tersebut dapat diduduki oleh tenaga kerja asing.
Namun, di sisi lain, usaha itu inkonsisten dengan adanya pasal-pasal yang mensyaratkan kemudahan memasukkan tenaga kerja asing.
Analis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, yang dihubungi Kompas, Kamis (5/4/2018), di Jakarta, menyebutkan, penegasan arahan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) itu bisa dilihat di Pasal 4 Perpres No 20/2018. Substansi ini bisa dinilai sebagai bagian mengendalikan pemakaian TKA.
Pada Pasal 2 Perpres No 20/2018 menyebutkan, penggunaan TKA dilakukan oleh pemberi kerja TKA dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Penggunaan TKA dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.
”Selanjutnya, pemerintah dalam penyusunan peraturan turunannya, seperti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker), harus menjelaskan secara detil mekanisme pengisian jabatan dengan melibatkan serikat pekerja,” ujar Rekson.
Menurut dia, substansi baru terdapat di Pasal 13. Untuk pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak, pemberi kerja TKA dapat mempekerjakan TKA dengan mengajukan permohonan pengesahan rancangan penggunaan TKA kepada menteri paling lama dua hari. Adapun pengesahan rancangan paling lama satu hari kerja.
”Semua negara mengejar efisiensi birokrasi,” katanya.
Lebih jauh, dia mengamati tidak ada substansi baru dan menonjol dalam Perpres No 20/2018. Substansi sudah dipaparkan dalam peraturan terdahulu, misalnya dalam peraturan teknis Permenaker No 35/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA.
Dalam permenaker ini, perusahaan wajib memakai tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping TKA. Konteks ini terdapat dalam Pasal 7 Ayat 2 Perpres No 20/2018. Isinya adalah Rancangan Penggunaan TKA harus memuat penunjukan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA.
Menarik investasi
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani yang dihubungi terpisah berpendapat, tidak ada perubahan yang signifikan. Hal positif terdapat dalam Pasal 13. Waktu pengesahan RPTKA untuk keperluan mendesak dan darurat didorong berdurasi singkat. ”Ada kepastian,” katanya.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit mengaku belum membaca keseluruhan isi Perpres No 20/2018. Hanya saja, dia akan mendukung setiap kebijakan yang mempermudah investasi masuk, seperti kebijakan penggunaan TKA.
”Pada prinsipnya, setiap perusahaan ingin lebih banyak menggunakan tenaga kerja lokal, tetapi ada jabatan tertentu dan bidang tertentu yang membutuhkan kehadiran TKA,” katanya.
Inkonsisten
Pandangan berbeda disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar. Dia justru menilai, Perpres No 20/2018 memiliki sejumlah sisi negatif.
Dia menilai, pembuatannya tidak mengikutsertakan serikat pekerja dan kelompok pengusaha. Pembuatan perpres ini terkesan terburu-buru. Hal ini bisa dilihat dari inkonsistensi Pasal 5 dan 11 Ayat 2d.
Dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan ada rancangan penggunaan TKA (RPTKA), tetapi dalam Perpres No 20/2018 ada kelonggaran. Misalnya, tidak dibutuhkan RPTKA seperti komisaris dan direksi, serta pekerja yang dibutuhkan pemerintah. Ini sudah bertentangan dengan semangat UU.
”Saya justru menilai Perpres No 20/2018 memberikan kemudahan penggunaan TKA,” ujar Timboel.
Pasal 9 Perpres No 20/2018 menyatakan pengesahan RPTKA adalah izin menggunakan TKA. Timboel menilainya sebagai sebuah kekeliruan karena RPTKA itu beda dengan izin TKA yang di Perpres No 72/2014 disebut IMTA. Dengan tiadanya IMTA, TKA sulit diawasi.
Contoh lain yaitu Pasal 6 Ayat 1. Isinya memperbolehkan TKA menduduki jabatan yang sama di beberapa perusahaan. Ini dikhawatirkan menutup ruang para profesional Indonesia naik jenjang karier.
Menjelang akhir Maret 2018, Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri meminta agar publik tidak perlu khawatir mengenai kebijakan TKA yang akan diambil pemerintah. Permintaan itu dia sampaikan saat menghadiri Regional Consultation on Human Trafficking, Labour Exploitation and Slavery at Sea yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Kemaritiman bekerja sama dengan Organisasi Buruh Internasional di Bali.
”Jangan terlalu khawatir. Penataan perizinan TKA itu kan untuk investasi agar ekonomi bergerak lebih cepat dan lapangan kerja tercipta lebih banyak. Menata tidak berarti membebaskan karena kami ingin memberi kemudahan izin lebih sederhana, cepat, dan akuntabel,” ujarnya seperti dikutip Kompas dalam siaran pers yang diterima tanggal 27 Maret 2018.
Mengacu pada data izin masuk tenaga kerja asing (IMTKA) Kemnaker, jumlah tenaga kerja asing dari semua negara 77.307 orang pada 2011. Jumlahnya menurun menjadi 72.427 orang tahun 2012, sebanyak 68.957 orang tahun 2013, dan 68.762 orang tahun 2014.
Kemudian, pada 2015, kementerian mencatat adanya kenaikan menjadi 69.027 orang. Hingga Juni 2016, total tenaga kerja asing 43.816 orang.