Jalan Panjang Sejahtera
Hari Nelayan diperingati setiap 6 April. Namun, setiap kali hari itu tiba, kita dihadapkan pada fakta jumlah nelayan yang terus merosot. Pada periode 2003-2013, jumlah nelayan berkurang dari 1,6 juta menjadi 800.000 rumah tangga nelayan. Penurunan ini ditaksir berlanjut dalam 5 tahun terakhir.
Profesi garda terdepan penyuplai produk perikanan ini kian ditinggalkan karena sejumlah persoalan, antara lain produksi yang minim dan kendala regulasi hingga akses permodalan. Dampak perubahan iklim juga menyulitkan nelayan saat melaut.
Berdasarkan data dari Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, pada 2017 sebanyak 315 jiwa nelayan hilang di laut. Adapun pada Januari-Maret 2018, sebanyak
45 jiwa hilang.
Jumlah nelayan yang semakin sedikit ini menjadi lampu kuning bagi kebangkitan dan kesejahteraan nelayan sesuai amanat Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla. Keberpihakan yang lemah terhadap peningkatan skala ekonomi nelayan membuat posisi nelayan kian tidak berdaya.
Hingga kini, mayoritas pelaku usaha perikanan di Tanah Air merupakan usaha skala kecil. Sekitar 97 persen nelayan menggunakan kapal berukuran kecil. Usaha skala kecil identik dengan permodalan yang minim, produksi serba terbatas, dan akses pemasaran yang sangat bergantung pada pelaku pasar.
Program kesejahteraan nelayan merupakan bagian dari program prioritas nasional di Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada 2018. Mandat yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2017 tentang RKP 2018 itu mewajibkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta kementerian dan lembaga terkait untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, produksi, investasi, dan ekspor.
Pertanyaannya, sejauh mana kerangka kerja produksi, investasi, dan ekspor sejalan dengan kesejahteraan nelayan?
Lagu lama, yakni peningkatan usaha perikanan terbentur akses permodalan, terus berulang. KKP berjanji memfasilitasi permodalan nelayan ke perbankan. Namun, upaya itu belum membuahkan hasil optimal. Usaha perikanan tangkap, khususnya skala kecil, belum dipandang sebagai entitas bisnis yang aman dari aspek pembiayaan. Nelayan pengguna alat tangkap cantrang di sejumlah wilayah masih kesulitan mengakses pembiayaan untuk penggantian alat tangkap.
Masih di aspek permodalan, tahun lalu pemerintah membuat terobosan dengan membentuk Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan-Badan Layanan Umum (LPMUKP-BLU) KKP untuk meningkatkan permodalan dan akses pembiayaan pelaku usaha. LPMUKP-BLU KKP difokuskan untuk membiayai usaha mikro perikanan. Namun, fungsi BLU itu belum banyak diketahui pelaku usaha.
Sepanjang 2017, total penyaluran pinjaman oleh LPMUKP-BLU KKP senilai Rp 32,8 miliar, dari total dana bergulir Rp 500 miliar. Tahun ini, LPMUKP-BLU menargetkan alokasi pinjaman usaha perikanan dengan dana bergulir Rp 975 miliar. Saatnya pemerintah memastikan BLU tersebut lebih ”membumi” dan menyentuh kelompok nelayan skala kecil.
Pencapaian pemerintah dalam pemberantasan perikanan ilegal dan penertiban usaha perikanan saatnya diikuti dengan upaya konkret membangkitkan kedaulatan nelayan. Laut harus mampu menyejahterakan nelayan.
Penguasaan rantai pemasaran oleh tengkulak yang mengendalikan volume dan harga perikanan membuat produk perikanan selama ini sulit berkompetisi. Harga ikan yang tinggi hanya dinikmati pedagang, tetapi tidak mengucur bagi nelayan, apalagi menyejahterakan. Sebaliknya, jika harga anjlok, nelayan tak pernah memiliki daya tawar.
Menjelang 5 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo merupakan momentum untuk membuktikan keseriusan pemerintah dalam membangkitkan nelayan sebagai pilar utama sektor kelautan dan perikanan. Kerangka besar pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia akan sulit terwujud jika kesejahteraan nelayan masih menghadapi jalan berliku.
Hari Nelayan semestinya tidak berakhir pada peringatan seremonial semata, tetapi terwujud dalam bentuk nelayan yang berdaulat dan sejahtera. (BM LUKITA GRAHADYARINI)