Bank Indonesia menyempurnakan sejumlah ketentuan terkait kebijakan moneter dan makroprudential. Hal itu dilakukan untuk memperlonggar ruang gerak perbankan.
JAKARTA, KOMPAS - Bank Indonesia kembali memperlonggar ruang gerak perbankan agar dapat mendorong ekonomi nasional secara lebih optimal. Fokusnya tidak hanya pada likuiditas dan penyaluran kredit, tetapi juga peningkatan pembiayaan melalui pasar keuangan.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) itu tertuang dalam ketentuan penyempurnaan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial. Regulasi pertama adalah Peraturan BI (PBI) Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum (GWM). Adapun peraturan kedua adalah PBI Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) bagi Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), dan Unit Usaha Syariah (UUS).
Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah, RIM, dan PLM bagi BUK efektif berlaku pada 16 Juli 2018. Sementara, ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK, GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS, serta pemenuhan RIM Syariah bagi BUS dan UUS dan PLM Syariah bagi BUS berlaku pada 1 Oktober 2018.
Asisten Gubernur BI dan Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi Dody Budi Waluyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (5/4), mengatakan, penyempurnaan GWM rata-rata bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan. Bank juga didorong meningkatkan intermediasi dan mendukung pendalaman pasar keuangan. ”Dengan ruang likuiditas yang makin longgar, perbankan dapat menempatkan dana 2 persen dari DPK ke instrumen lain di pasar keuangan. Ini soal kecakapan treasury perbankan dalam mengelola likuiditas dari GWM rata-rata agar dapat memberikan keuntungan bisnis bagi bank,” kata dia.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta mengemukakan, pengaturan RIM bertujuan mendorong fungsi intermediasi perbankan kepada sektor riil. Selain melalui penyaluran kredit, intermediasi juga melalui pembelian surat berharga yang diterbitkan korporasi nonbank. Bank tetap akan melihat dan mempertimbangkan mana yang paling menguntungkan bagi bisnisnya.
BI memandang, regulasi itu akan mendorong korporasi nonbank menerbitkan surat berharga. Pada 2017, total nilai penerbitan surat berharga korporasi sekitar Rp 4,6 triliun atau 1 persen dari total penyaluran kredit perbankan.
Perkuat modal
Sementara, untuk memperkuat permodalan dan meningkatkan pembiayaan, PT Bank Rakyat Indonesia Syariah Tbk menawarkan saham perdana (IPO). Anak perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk itu melepas 2,6 miliar saham ke publik dengan harga kisaran Rp 505-Rp 650 per lembar saham.
Direktur Utama BRI Syariah Hadi Santoso mengatakan, saham yang akan ditawarkan ke publik itu 27 persen dari total saham BRI Syariah. Sekitar 80 persen dana hasil IPO akan digunakan untuk pembiayaan, sementara 12,5 persen untuk pengembangan sistem teknologi informasi, dan 7,5 persen untuk perluasan jaringan kantor.
"Untuk pembiayaan, kami akan fokus pada segmen konsumer banking, salah satunya ke pembiayaan kepemilikan rumah dari program pemerintah. Kami menargetkan pada tahun ini pembiayaan bisa tumbuh 13-14 persen,” kata dia.