JAKARTA, KOMPAS - Kemiskinan menjadi persoalan pelik di Indonesia walaupun sejumlah indikator menunjukkan perbaikan. Penurunan rasio ketergantungan penduduk selama beberapa dekade, tak berjalan linear dengan penurunan tingkat kemiskinan.
Data yang dihimpun Kompas sejak dua pekan lalu hingga Minggu (8/4/2018) menunjukkan, rasio ketergantungan penduduk pada 1971 tercatat sebesar 86,8 persen. Artinya, setiap 100 penduduk produktif, harus menanggung 86-87 penduduk tidak produktif. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk usia produktif ada di rentang 15-60 tahun. Rasionya terus turun dan pada 2017 menjadi 48,1 persen.
Semakin tinggi rasio ketergan- tungan penduduk, semakin berat beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif. Demikian sebaliknya, semakin rendah rasionya, semakin ringan beban penduduk usia produktif. Jika rasio ketergantungan makin kecil, penduduk usia produktif punya potensi lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga yang harus ditanggungnya. Dengan demikian, peluang untuk keluar dari jerat kemiskinan bisa makin besar.
Data kemiskinan menurut versi BPS, baru tersedia secara daring sejak 1993. Saat itu, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 37,9 juta orang atau sekitar 18 persen dari jumlah penduduk. Pada 1996, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 34,5 juta atau 17,7 persen. Akibat krisis ekonomi, jumlah penduduk miskin melonjak menjadi 49,5 juta jiwa atau 24,2 persen pada 1998. Jumlah dan persentasenya terus berkurang berkurang, lalu pada 2017, jumlah penduduk miskin 27,77 juta jiwa (10,64 persen).
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Pungky Sumadi menyatakan, pelambatan penurunan tingkat kemiskinan terjadi selama 2011-2017. Namun, pada September 2017, kemiskinan turun sekitar 1,18 juta jiwa penduduk miskin (0,58 persen). ”Ini merupakan penurunan terbesar dibandingkan dengan rata-rata penurunan lima tahun terakhir yang kurang dari 500.000 orang per tahun,” kata Pungky.
Pelambatan penurunan kemiskinan selama 2011-2017 disebabkan beberapa hal. Di antaranya adalah tingkat inflasi. Inflasi yang stabil sangat penting untuk menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan, terutama menyangkut inflasi yang dirasakan masyarakat miskin yang cenderung lebih tinggi dari inflasi umum.
Penyebab lainnya adalah pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang terfragmentasi dan tidak berkelanjutan, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maupun swasta atau sumber sumber lain seperti lembaga swadaya masyarakat.
Faktor lain adalah implementasi program, seperti misalnya keterlambatan penyaluran, kualitas pendampingan, permasalahan data sasaran, serta implikasi pemekaran wilayah yang mempersulit koordinasi. Ada pula faktor kemiskinan yang menyentuh penduduk paling miskin dan berada di daerah sulit sehingga butuh penanganan yang lebih komprehensif.
Data komprehensif
Di lapangan, persoalan kemiskinan lebih pelik dari sekadar data. Data dan program yang kurang komprehensif menjadi salah satu sebab masih adanya penduduk miskin yang terlepas dari jaring pengaman sosial.
Jila Pluriana (35) warga Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah terpaksa menjadi pemulung di Kota Palangkaraya karena suaminya sakit-sakitan. Tanahnya terpaksa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pindah ke Palangkaraya di kebun warisan ayah suaminya.
Ia tinggal di sebuah rumah panggung di sekitar Jalan Badak, Kota Palangkaraya. Jila mengaku tidak pernah mendapatkan perlindungan jaring pengaman sosial dari pemerintah Kabupaten Gunung Mas atau Kota Palangkaraya.
”Tidak pernah dapat perlindungan. Anak saya yang sulung pun bisa sekolah di Kapuas karena dibiayai oleh saudara suami saya di sana,” ungkap Jila.
Berbeda dengan Jila, Riyadi Suan (41), warga Flamboyan, Kota Palangkaraya pernah menjadi peserta Program Keluarga Harapan (PKH). Ia bersama istri dan ketiga anaknya tinggal di sebuah rumah lanting atau rumah terapung. Suan mengaku, sebagai keluarga penerima manfaat pada tahap pertama, ia mendapatkan Rp 500.000.
Data BPS Kalimantan Tengah menunjukkan, tren tingkat kemiskinan selalu menurun selama tiga tahun terakhir. Pada September 2015 mencapai 5,91 persen, sementara pada 2017 menjadi 5,26 persen.
Kepala BPS Kalimantan Tengah Hanif Yahya mengatakan, Kalimantan Tengah masih lebih baik dibanding provinsi lainnya di Pulau Kalimantan. Efek dari pembangunan dan program perlindungan sosial dari pemerintah sangat membantu menurunkan kemiskinan.
”Program perlindungan sosial harusnya mampu memotong rantai kemiskinan, tetapi data menjadi sangat penting untuk menjadi referensi pemerintah,” ungkap Hanif.
Pada 2015, BPS Kalteng mengambil data Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PDBT) yang kemudian diberikan ke kemeterian terkait. Dari data tersebut, jumlah rumah tangga miskin mencapai 136.978 rumah tangga dan 336 di antaranya bekerja sebagai pemulung.