SURABAYA, KOMPAS — Komunitas industri pergulaan kini tengah menuntut dan memproses rencana pengusulam konsep Standar Nasional Industri gula kristal putih produksi pabrik gula nasional. Pembuatan konsep SNI GKP tetap diperlukan meski SNI versi sebelumnya baru dibuat tahun 2015, karena versi lama ditegaskan mengandung kelemahan karena belum memuat potensi perubahan warna gula pascaproduksi.
Padahal, perihal perubahan warna inilah yang membuat 72 persen contoh gula produksi 2017 yang dipantau Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) tidak lolos SNI. Akibatnya, sekitar 7.000 ton gula dari total produksi gula nasional BUMN dan swasta tahun lalu terkena sanksi standar SNI sehingga tak boleh dipasarkan (dilarang jual), kata konsultan Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Widodo, pada Workshop dan Riset Penyusunan Draft Revisi SNI GKP dan SNI Baru Gula Kristal Berbasis Tebu (GKTB) di Surabaya, Rabu (11/4/2018).
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan polisi menyegel produksi gula tahun 2017 dan melarang peredarannya, yang membuat PT Perkebunan, produsen gula, mengeluh. Jika diperhitungkan harga tertinggi gula konsumen sebesar Rp 12.500 per kilogram, ada dana sebesar Rp 87 miliar gula milik petani yang macet karena tidak bisa dijual.
Kemendag masih memberi peluang penjualan gula tak lolos SNI, dengan cara direproses ke dalam pabrik lagi, tetapi ada biaya Rp 300 per kg. ”Proses pun tak bisa dilakukan pada masa giling 2017 karena jadwal giling sudah padat sehingga baru bisa dilakukan pada masa giling 2018,” kata Widodo.
Rivan Kuswurjanto, pakar kimia proses dan pengolahan gula P3GI, mengatakan, meski ada SNI, secara kimia warna gula kristal putih bukan ancaman serius terhadap kesehatan dan keamanan pangan. Ada variasi masalah di lingkungan teknologi pabrik gula yang mewarnai munculnya problem warna GKP.
”Antara lain karena industri gula nasional saat ini sebagian besar masih menggunakan telnologi sulfitasi. Bukan teknologi Defikasi Remelt Karbonatasi (DRK) yang lebih maju. Di Jawa Timur, misalnya, dari 40 pabrik gula (dari total 60 pabrik se-Indonesia), hanya 2 pabrik yang menggunakan teknologi DRK,” kata Rivan.
”PG sulfitasi membutuhkan dana reinvestasi amat besar hingga puluhan miliar per pabrik untuk menambah teknologi DRK yang akan menjamin hasil gula kristal putih yang putih dengan nilai warna gula sesuai standar ICUMSA (standar internasional kualitas produk gula, termasuk warna gula kristal), di bawah 200 UI (unit Icumsa) sesuai SNI,” kata Direktur P3GI Aang Munawar.
Produksi GKP PG Indonesia memiliki warna gula beragam, bahkan di atas SNI hingga 300 UI. Bahkan sudah populer bahwa gula rafinasi eks impor berwarna putih, sementara gula pabrik gula nasional berwarna putih mangkak. Selain itu, produk GKP sulfitasi mudah mengalami perubahan warna seiring perjalanan pascaproduksi.
”Kelembaban penyimpanan selama di gudang dan dalam transportasi juga mudah membuat GKP sulfitasi menjadi putih mangkak,” kata Kepala Bidang Penelitian P3GI Lilik K Putra. Begitu juga karakter dan jenis tebu petani ikut menentukan munculnya warna putih mangkak yang membuat GKP tidak lolos SNI. Draf SNI baru dibutuhkan untuk memasukkan semua problem produksi itu agar produksi gula nasional terhindar dari larangan jual.