JAKARTA, KOMPAS--Hasil survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia menemukan pertumbuhan inklusi keuangan pada layanan keuangan tanpa lantor untuk keuangan inklusif dan layanan keuangan digital. Namun, inklusi keuangan yang ditargetkan mencapai 75 persen pada 2019, dinilai sulit terwujud.
Penilaian mengenai kesulitan memenuhi target itu didasarkan pada survei yang pernah dilakukan Indeks Keuangan Global (GFI) Bank Dunia. Dalam survei itu, pertumbuhan inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 32 persen pada 2014.
“GFI baru akan menyampaikan hasil survei terbarunya pada bulan ini atau bulan depan. Namun, kami prediksi pertumbuhan inklusi keuangan di Indonesia baru sekitar 50 persen dan sulit mencapai target 75 persen,” tutur Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Chaikal Nuryakin di Jakarta, Selasa (10/4/2018).
Hal itu berbeda dengan survei inklusi keuangan versi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasar data OJK, Inklusi Keuangan pada tahun 2013 sudah mencapai 59,74 persen dan meningkat menjadi 67,82 persen pada 2016.
Chaikal mengatakan, beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan inklusi keuangan adalah akses masyarakat terhadap layanan Layanan Keuangan Tanpa Kantor untuk keuangan Inklusif (Laku Pandai) maupun Layanan Keuangan Digital (LKD). Hasil survei LPEM periode Oktober 2017-Januari 2018 menunjukkan, tingkat inklusi layanan Laku Pandai mencapai 43 persen dan LKD mencapai 28 persen.
Anggota Tim Peneliti LPEM Universitas Indonesia Prani Sastiono menambahkan, Laku Pandai dan LKD masih tidak mudah digunakan untuk bertransaksi dibandingkan dengan layanan keuangan non-formal.
Sementara, Country Manager MicroSave Indonesia Grace Retnowati menyebutka, pertumbuhan inklusi keuangan kurang pesat karena agen keuangan tidak mencari nasabah baru.