Elektronifikasi Jalan Tol, Berawal dari Kebiasaan
Pada akhir Oktober 2017, pemerintah mewajibkan transaksi nontunai di jalan tol Indonesia. Meski ada sosialisasi dan uji coba setengah tahun sebelumnya, kekagetan tetap terjadi, pengguna pun harus menyesuaikan diri.
Jarak Bandara Taoyuan di Taipei menuju penginapan sekitar 58 kilometer. Menumpang kendaraan sejenis van berkapasitas delapan orang, jarak itu ditempuh sekitar 45 menit. Baru beberapa menit keluar dari bandara, Cliff Chung (28), staf FETC International Co Ltd yang mendampingi kami, mengatakan, ”Kita sudah masuk jalan tol.” Menengok ke kiri dan ke kanan, tidak ada penanda berupa gerbang tol seperti di Indonesia.
Taiwan adalah salah satu negara yang menerapkan arus kendaraan tanpa berhenti untuk beberapa jalur (multi lane free flow/MLFF). Kendaraan yang masuk ke jalan tol tidak perlu berhenti untuk membayar jasa jalan tol. Transaksi tetap terjadi, tetapi semua sudah dilakukan oleh sistem.
Total panjang tol di Taiwan mencapai 1.000 kilometer. Transaksi dilakukan secara otomatis oleh 333 gerbang (gantries) yang mendeteksi setiap kendaraan yang lewat. Dalam sehari, rata-rata 1,5 juta kendaraan melewati jalan tol dari total 7,5 juta kendaraan yang teregistrasi. Sementara rata-rata dalam sehari terjadi 16 juta transaksi dengan rekor tertinggi sebanyak 22,7 juta transaksi. Akurasi transaksinya mencapai 99,98 persen.
Namun, otomatisasi jalan tol di Taiwan tidak terjadi seketika. Pada awalnya jika hendak melewati jalan tol, pengguna jalan tetap harus berhenti dan membayar secara manual.
Pada 2006 mulai dikenalkan transaksi dengan menggunakan alat yang diletakkan di kendaraan (on board unit/OBU) yang berbasis dedicated short range communication (DSRC). Pemilik kendaraan mesti memasang alat seharga 40 dollar AS di kendaraan. Dengan OBU, transaksi dilakukan tanpa perlu menyentuh.
Meskipun OBU sudah mulai diterapkan, tingkat penggunaannya berjalan lambat, bahkan stagnan. Hingga 2012, total kendaraan yang teregistrasi hanya 1,2 juta unit. Salah satu sebabnya, masyarakat di sana enggan membeli alat itu.
”Kita bicara soal kebiasaan orang yang sangat spesifik. Saya pernah bertemu pemilik mobil Ferrari yang tidak mau beli OBU seharga 40 dollar AS. Kata pemilik Ferrari, kenapa harus beli OBU. Berikan saja gratis,” kata Vice President Operation Division FETC International Co Ltd Daryl Hsieh.
Melihat pandangan ataupun kebiasaan masyarakat tersebut, FETC International Co Ltd sebagai konsorsium pengumpul transaksi dan penyedia teknologi pun mengubah strategi. Kemudian, pada 2012 dikenalkan sistem berbasis gelombang radio secara pasif yang dikenal dengan e-Tag. Sistem itu dijalankan paralel dengan sistem sebelumnya.
Dengan sistem yang baru, ternyata kendaraan yang teregistrasi atau terdaftar naik secara signifikan, mencapai 5 juta unit dalam waktu 16 bulan. Hingga pada 2014, e-Tag dengan arus kendaraan tanpa berhenti untuk beberapa jalur (MLFF) diterapkan secara penuh.
Untuk itu, setiap kendaraan perlu diregistrasi dan dipasang alat seperti stiker seharga 2 dollar AS. Alat kecil yang sebenarnya merupakan pemancar gelombang itu biasanya dipasang di sisi kanan kaca depan kendaraan atau di lampu depan kendaraan sebelah kanan.
Hambatan
Dengan sistem itu, selain tidak perlu berhenti untuk bertransaksi, kendaraan dapat dipacu hingga di atas 100 km per jam. Pembayarannya pun dilakukan melalui dompet elektronik ataupun kartu kredit.
Meski demikian, bukan berarti tanpa hambatan. Dalam beberapa kasus, sistem pendeteksi tidak bisa membaca nomor kendaraan karena kotor, berubah warna, atau sengaja diubah oleh pemilik. Jika sistem tidak bisa mengenali, proses identifikasi dan pencocokan data dilakukan secara manual.
Menurut Presiden FETC International Co Ltd YC Chang, sebagai sebuah pencapaian, otomatisasi jalan tol di Taiwan juga diwarnai kegagalan. Namun, mereka belajar dari situ serta mencermati kebiasaan masyarakat.
”Masyarakat tidak peduli soal teknologi yang digunakan, tapi yang penting adalah pelayanan. Ini soal manusia, tidak hanya soal proyek,” ujar Chang.
Di kawasan Asia Pasifik, beberapa negara lain, seperti di Hong Kong, Malaysia, Thailand, India, dan Singapura, juga terus mengembangkan teknologi untuk mendukung mobilitas orang dan barang. Masing-masing negara memiliki tantangan dan keunggulan masing-masing.
Di Hong Kong, misalnya, dengan penetrasi transportasi publik ke masyarakat lebih dari 90 persen, tidak ada investor yang berminat untuk mengembangkan transportasi dengan prinsip berbagi (sharing) sebagaimana terjadi di banyak negara.
Namun, tantangannya adalah memperluas cakupan internet di seluruh wilayah serta mengatasi ancaman populasi penduduk yang menua.
Di Singapura, menurut Group Director, Transportation and Road Operations, Land Transport Authority (LTA) Singapura Kian Keong Chin, sebagai negara dengan luas wilayah terbatas, pemakaian kendaraan pribadi harus dibatasi. Sebagai gantinya, transportasi publik ditambah, serta orang didorong untuk berjalan atau menggunakan sepeda. Setelah menerapkan mekanisme jalan berbayar dengan menempatkan alat di setiap kendaraan (OBU), pada 2020 mereka akan menerapkan sistem deteksi kendaraan berbasis satelit.
Indonesia pun telah memiliki peta jalan elektronifikasi di jalan tol. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah menargetkan pada akhir 2018 arus kendaraan tanpa berhenti mulai diterapkan di jalan tol. Meski berperan penting, teknologi yang akan dipilih mesti disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Elektronifikasi jalan tol berlanjut. Kini, pemerintah tengah menyiapkan lelang penyedia teknologi transaksi tanpa berhenti. Sejumlah perusahaan telah menawarkan teknologi terkait itu, antara lain dari Jepang, Taiwan, Hongaria, dan Korea. Namun, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyatakan akan memilih teknologi yang paling sesuai dengan kondisi di Indonesia sekaligus yang biayanya paling rendah.
Pemerintah juga tengah menyiapkan pembentukan perusahaan pengumpul transaksi tol secara elektronik (ETC). Transaksi tanpa berhenti di gerbang tol diharapan dapat diterapkan akhir tahun ini.