Walaupun belum pulih sepenuhnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mulai menguat. Pada perdagangan Senin (16/4/2018), IHSG ditutup pada level 6.286, naik 16 poin atau 0,26 persen. Rekor tertinggi IHSG tercatat pada level 6.680 pada akhir Januari 2018.
Setelah itu, trennya terus turun hingga menyentuh 6.140. Penurunan IHSG disebabkan oleh sejumlah faktor, tetapi didominasi oleh faktor global. Ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China, menyebabkan indeks saham di banyak negara turun. Indonesia juga ikut terpengaruh walaupun secara fundamen, kondisi ekonomi Indonesia tetap baik.
Belakangan, sentimen positif mendorong kenaikan IHSG, termasuk kenaikan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat Moody\'s Investor Service.
Pada 13 April waktu Indonesia, Moody\'s menaikkan peringkat utang Indonesia dari Baa3 dengan proyeksi positif menjadi Baa2 dengan proyeksi stabil. Ada empat lembaga pemeringkat yang sudah memberikan peringkat Baa2 atau BBB yakni Fitch Rating, JCRA, R&I, dan Moody’s. Sementara, peringkat utang Indonesia dari Standard & Poor’s (S&P) tercatat berada di level BBB-.
Dengan peringkat utang Baa2, surat berharga yang diterbitkan Pemerintah Indonesia memiliki kategori risiko kredit moderat dan berada dalam medium grade. Adapun proyeksi stabil mencerminkan peringkat utang Baa2 yang akan stabil dalam beberapa waktu ke depan.
Kenaikan peringkat itu memang tidak secara langsung mendongkrak harga saham. Namun, sentimen positifnya mendorong investor untuk mencari saham yang prospeknya bagus di masa mendatang. Hal itu terjadi karena kenaikan peringkat utang surat utang juga mengindikasikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter sudah berada di jalur yang benar.
Investor di pasar saham biasanya mendahului dalam mengambil langkah dibandingkan dengan apa yang terjadi di sektor riil. Jika dilihat dari transaksi pada Senin, ternyata justru investor domestik yang ikut mendorong kenaikan IHSG. Statistik yang dipublikasikan Bursa Efek Indonesia menunjukkan, investor domestik membukukan pembelian bersih sebesar Rp 551 miliar dari total transaksi beli Rp 3,7 triliun. Sepanjang tahun ini, investor asing melakukan penjualan bersih sebesar Rp 27,4 triliun.
Keluarnya modal asing dari bursa sebanyak itulah yang turut berpengaruh pada melemahnya nilai tukar rupiah sepanjang 1,5 bulan ini. Nilai tukar rupiah masih bertahan di level Rp 13.700an per dollar AS, setelah mencapai titik terkuat Rp 13.290 per dollar AS tahun ini pada Januari lalu. Pada Senin, nilai tukar rupiah menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang diterbitkan Bank Indonesia tercatat sebesar Rp 13.766 per dollar AS.
Dengan fundamen ekonomi yang relatif bagus dan peringkat utang Indonesia yang terus membaik, modal asing diharapkan bisa kembali lagi ke Indonesia.
Ibarat air yang secara alami bergerak ke tempat yang lebih rendah, modal asing akan selalu merembes ke tempat yang menjanjikan.
Indonesia adalah tempat menjanjikan untuk investasi. Inflasi yang terjaga di bawah 4 persen, defisit transaksi berjalan yang ada di kisaran 2 persen, dan defisit fiskal yang terus terkelola dengan baik bisa menjadi sinyal bagus. Apalagi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara makin produktif.
Alokasi anggaran untuk infrastruktur yang terus meningkat, akan berdampak pada daya saing ekonomi di kemudian hari. Tahun ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen. Namun, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kita di kisaran 5,3 persen. Sinyal dari pasar saham yang berembus dari satu sisi, bisa menjadi pendorong perekonomian yang masih butuh banyak lagi tiupan angin serupa.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.