JAKARTA, KOMPAS — Tahun ini, pemerintah menargetkan penarikan utang yang lebih kecil ketimbang dua tahun sebelumnya. Pada periode yang sama, pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih tinggi sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara lebih efisien dan efektif menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/4/2018), menyatakan, penarikan utang pada triwulan I-2018 lebih kecil dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sebaliknya, realisasi pendapatan negara dan belanja negara lebih besar. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 menargetkan pendapatan Rp 1.894,7 triliun. Pagu belanja dianggarkan Rp 2.220,7 triliun sehingga defisit APBN Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Defisit sebagian besar dibiayai dari utang. Total realisasi pembiayaan APBN triwulan I-2018 Rp 149,8 triliun atau 46 persen dari target. Ini lebih kecil dari triwulan I-2016 Rp 200 triliun dan triwulan I-2017 Rp 189,5 triliun. Sri Mulyani menekankan, realisasi APBN 2018 sampai akhir tahun akan dijaga dengan defisit sebesar 2,19 persen terhadap PDB. Ini lebih kecil ketimbang target defisit 2017 2,92 persen terhadap PDB.
Dari penerimaan perpajakan, realisasi triwulan I-2018 menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tumbuh positif. Hal sama terjadi pada Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Data tersebut, menurut Sri Mulyani, menggambarkan pemulihan pertumbuhan ekonomi yang tengah terjadi. Dia optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih baik dari tiga tahun terakhir. Hal ini didukung pula oleh penyerapan belanja negara yang lebih baik. Penyerapan anggaran belanja negara triwulan I-2018 Rp 234 triliun. Sementara pada periode yang sama 2016 dan 2017 adalah Rp 193,5 triliun dan Rp 204,8 triliun.
Proyek strategis nasional
Pembiayaan menjadi salah satu tantangan dalam pelaksanaan proyek strategis nasional. Karena itu, pelaksana proyek diharapkan menggunakan model pembiayaan alternatif yang dapat menarik minat investor. Hal itu ditekankan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pengantar rapat terbatas terkait evaluasi proyek strategis nasional di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (16/4/2018). Keterlibatan investor diperlukan mengingat biaya pengerjaan proyek strategis nasional tidak akan cukup hanya dengan mengandalkan APBN.
Hadir dalam rapat terbatas antara lain Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Panjaitan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofjan Djalil, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
”Saya tekankan lagi mengenai pembiayaan proyek strategis nasional yang tidak mungkin mengandalkan APBN saja. Untuk itu, perlu dilakukan model pembiayaan alternatif yang kreatif yang menarik minat investor,” kata Presiden.
Selama ini, sebagian proyek strategis nasional dibiayai badan usaha milik negara (BUMN). Ada pula sejumlah proyek yang sudah dibiayai investor swasta. Namun, pelibatan investor swasta dinilai belum maksimal.
Rapat terbatas juga memutuskan untuk menghentikan sementara 14 proyek strategis nasional karena kurang berkembang. Darmin menjelaskan, proyek yang perkembangannya tak signifikan itu antara lain proyek keteta api Jambi-Palembang, rel kereta api Kalimantan Timur, sistem penyediaan air minum di Sumatera Utara, Bendungan Polesika di Sulawesi Tenggara, dan Kawasan Ekonomi Khusus Merauke.
Dengan demikian. sampai saat ini pemerintah memiliki 222 proyek strategis nasional dan tiga program. Itu terdiri dari 69 proyek infrastruktur, 51 proyek bendungan, 29 proyek kawasan, 16 proyek kereta api, 11 proyek energi, 10 proyek pelabuhan, 8 proyek air bersih dan sanitasi, 6 proyek bandara, 6 smelter, 6 proyek irigasi, 4 proyek teknologi, dan lainnya. Menurut Darmin, nilai investasi 222 proyek strategis nasional itu mencapai Rp 4.100 triliun.