Washington DC, Kompas--Perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 5,3 persen pada tahun ini. Pada 2019, pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia diperkirakan lebih tinggi, yakni 5,5 persen.
Adapun perekonomian global diproyeksikan tumbuh 3,9 persen pada tahun ini dan tahun depan. Pertumbuhan ekonomi dunia ini didukung antara lain momentum yang kuat, sentimen pasar, dan kondisi finansial yang akomodatif. Meski demikian, dalam jangka menengah, ada risiko pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,7 persen.
Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook itu dirilis pada IMF-World Bank Group Spring Meetings 2018 di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (17/4/2018). Proyeksi pertumbuhan ekonomi global itu dipaparkan Maurice Obstfeld, konselor ekonomi dan direktur departemen riset IMF.
Dalam paparannya, Maurice menyinggung soal perang dagang antara AS dan China. "Hal ini memengaruhi hubungan dagang bilateral dan multilateral. Namun, hal-hal ini sedang dinegosiasikan," katanya.
Menjawab pertanyaan tentang ketidakpastian akibat perang dagang antarnegara, Maurice mengatakan, perdagangan akan memengaruhi banyak hal, termasuk terhadap negara berkembang. Saat ditanya tentang dampaknya terhadap harga komoditas dunia, Maurice menjawab, jika AS dan China saling membalas kebijakan, bisa berdampak pada harga komoditas dunia.
IMF memaparkan, pemulihan kondisi perekonomian negara-negara maju terus berlangsung. Hal ini mendukung pertumbuhan perekonomian global, yang pada 2017 tumbuh 3,8 persen. Perbaikan kondisi perekonomian global juga didukung kondisi ekonomi negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi (emerging market) dan negara-negara berkembang yang meningkat.
Sementara, pertumbuhan PDB negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan negara-negara berkembang masih ditopang konsumsi masyarakat. Selain itu, perekonomian negara-negara berkembang juga didukung perbaikan harga komoditas di pasar dunia.
Paparan IMF juga menyebutkan soal harga minyak dunia, yang berdampak pada kondisi perekonomian banyak negara. Harga rata-rata minyak dunia diperkirakan mencapai 62,3 dollar AS per barrel, lebih tinggi dari harga rata-rata pada 2017 yang sebesar 52,8 dollar AS per barrel. Namun, jika suplai minyak dunia sudah kembali pulih, harga minyak diperkirakan turun kembali menjadi 58,2 dollar AS per barrel pada 2019. Bahkan, bisa turun lagi menjadi 53,6 dollar AS per barrel pada 2023.
Dapat dicapai
Angka proyeksi pertumbuhan ekonomi RI tahun ini sebesar 5,3 persen tersebut sama dengan proyeksi Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang dirilis pekan lalu. Sementara, proyeksi IMF untuk pertumbuhan PDB RI sebesar 5,5 persen pada 2019 lebih tinggi dari proyeksi Bank Dunia dan ADB, yakni 5,3 persen.
Dalam APBN 2018, pemerintah RI menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada tahun ini. Target itu di atas pencapaian pertumbuhan PDB 2017, yakni 5,07 persen.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, yang dimintai tanggapan mengenai proyeksi pertumbuhan ekonomi RI sebesar 5,3 persen pada tahun ini, menyebutkan, kendati cukup berat, namun target pertumbuhan dapat dicapai jika pemerintah dapat mendongkrak pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga lebih dari 5 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut ditopang daya beli masyarakat yang terjaga.
"Terjaganya daya beli masyarakat dapat diwujudkan dengan peningkatan pendapatan masyarakat," jelas Josua melalui pesan singkat dari Jakarta.
Selain itu, tambah Josua, efektivitas stimulus fiskal melalui instrumen belanja pemerintah juga mendukung pertumbuhan perekonomian. Instrumen itu di antaranya belanja sosial, subsidi, serta pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Sumber pertumbuhan ekonomi lainnya adalah investasi, yang diperkirakan tumbuh stabil. Hal ini didorong aktivitas sektor konstruksi, seiring penyelesaian proyek infrastruktur. Investasi diharapkan tumbuh 6,5-7 persen pada tahun ini.
"Untuk mencapai laju pertumbuhan tersebut, pemerintah perlu meningkatkan keyakinan pelaku usaha untuk berinvestasi. Caranya, dengan menata regulasi dan birokrasi di tingkat pemerintah pusat dan daerah," tambah Josua.
Hal lain yang perlu dilakukan pemerintah RI adalah meningkatkan kemudahan berusaha dan mengintegrasikan sistem perizinan yang ramah investor. Pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi investasi di sektor industri pengolahan, sebagai pendorong perekonomian.
"Revitalisasi industri manufaktur dapat meningkatkan produktivitas nasional. Jika diikuti dengan inovasi, maka dapat mendorong peningkatan nilai tambah barang ekspor, terutama nonmigas. Pada akhirnya, mendorong kinerja ekspor nasional dan meningkatkan pendapatan masyarakat," ujar Josua.